Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Thursday, February 27, 2020

My Favourite Love Stories

February 27, 2020 2 Comments
Seperti gadis-gadis pada umumnya, kisah romantis ala disney dan film hollywood merupakan cerita yang paling menarik buatku. Setelah kurenung-renungkan, ternyata kami para gadis (atau setidaknya, aku doang), sudah punya "konsep" cinta, pernikahan, "prince charming with a shining armor" yang kami adopsi dari berbagai media sejak kecil. Kisah cinta, jika bukan sebagai tema utama, akan dijadikan sebagai pemanis untuk setiap cerita. Well, as a hopeless romantic person, aku sih senang-senang aja dengan itu. Love story is still my favorite of all.

Photo by Roman Kraft on Unsplash
Tapiii..of all love stories yang pernah ak baca, dengar atau tonton, ada 3 kisah yang paling mengena buatku dan entah kenapa, tiap aku baca ulang, aku senyum-senyum bacanya. Terlepas dari kejadiannya yang terjadi ribuan tahun yang lalu, entah kenapa cerita ini justru sangat relatable buatku. Mulai dari kegalauannya, penantiannya hingga kehidupan setelah pernikahannya.

I've been willing to write about this since long ago. Postingan ini pun sudah di draft blog sejak 26 April 2018 dan baru diselesaikan sekarang (procasinator emang 😜). Semakin memasuki usia dewasa, aku yakin banyak orang yang mengalami apa yang kualami, mulai mencari konsep kehidupan masa depan. Apakah aku butuh teman hidup? Jika ya, apakah aku siap untuk membina hubungan saat ini? bagaimana dengan ambisi untuk berkarir, ingin sekolah lagi? konsep hubungan seperti apa yang kuinginkan? apa peranku dalam sebuah hubungan? pasangan seperti apa yang kuinginkan? apa yang aku dan pasanganku perlu capai dalam sebuah hubungan? and so on.

Sejak secara tidak sengaja menemukan kisah-kisah ini, konsepku tentang hubungan, "prince charming" dan pernikahan pelan-pelan bergeser walaupun proses pergeserannya sampai bertahun-tahun. Dari yang respon awalku "nah, cowo tuh harusnya giniiii.." sampai kesini-kesini, responku adalah "bisa ga ya aku kayak si tokoh cewe?". By the way, ketiga cerita ini adalah kisah Alkitab. Trust me, ini tuh ga "sejauh dan se-celestial" itu. This is so relatable, aku pun tidak dalam posisi menggurui bagaimana seseorang seharusnya menjalani hubungannya, what do I know. I literally share this as a personal admiration of the characters, the stories and how God involved in their life.

1. Yusuf dan Maria
Aku baru merenungkan kisah Yusuf dan Maria setahunan ini and they suddenly became my favorite couple of all. Selama ini, tiap membaca dan mendengar kisah kelahiran Yesus, aku fokus pada Yesusnya aja (ya emang harusnya begitu sih) tapi trus aku menyadari kalo Allah ga mungkin nitipin Anak-Nya ke orang sembarangan.

Dalam gereja Katolik, Yusuf dijuluki pelindung keluarga Nazaret. Sosoknya ga banyak ngomong tapi justru karna ketenangan itulah dia jadi bisa dengar-dengaran sama Tuhan melalui malaikat Gabriel. Dia ingin meninggalkan Maria, tunanganannya, secara diam-diam karena tidak ingin mencemarkan nama Maria. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk tetap mengambil Maria sebagai istrinya karena dia taat dengan perkataan Tuhan melalui malaikat Gabriel.Tulus banget kan 😊. Dia juga terus menjagai Maria dan Yesus ketika raja berniat membunuh Yesus, hingga menyingkir ke Mesir.

Maria juga perempuan yang taat dan rela dipakai Tuhan untuk karya keselamatan Bapa. Satu perkataan Maria yang selalu kuingat adalah fiat voluntas tua, aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu. Mana ada sih seorang gadis yang mau hamil sebelum bersuami? Aku yakin bahwa Maria tau risiko yang dihadapinya bersedia untuk mengandung Yesus, tapi dia percaya banget bahwa masa depannya dijamin sama Tuhan. Selain itu, Maria juga sama seperti Yusuf, sepertinya tidak banyak ngomong dan hanya menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.

Kalo di zaman sekarang, relationship counselor suka bilang "cari pasangan yang satu value, blablabla...", Maria dan Yusuf kurang satu value apa lagi? Mereka sampai disanggupkan untuk melewati perjalanan panjang menuju Bethlehem, menyingkir ke Mesir, kembali ke Nazaret dan berbagai tantangan yang harus dihadapi sebagai orang tua Yesus. Value mereka apa? ya, mereka nyender dan mandangnya ke Tuhan aja, jadi dua-duanya bisa jalan searah.

2. Tobia dan Sara
Aku sukaaaaa sekali dengan Kitab Tobit ini. There's nothing I dislike about this book. Kitab ini menceritakan tentang 3 keluarga yang taat, mencintai sesama dan sangat mencintai Tuhan. Baik orang yang sudah menikah maupun yang belum menikah dapat berkaca pada tokoh Tobit dan Hana (orang tua Tobia), Raguel dan Edna (orang tua Sara), Tobia dan Sara.

Dikisahkan, Tobit adalah orang yang penuh cinta kasih terhadap sesamanya yang saat itu sedang di pembuangan di Niniwe. Kebaikan hatinya itupun mengakibatkan dia harus hidup dikejar-kejar raja, terancam dibunuh dan diolok-olok oleh tetangganya. Seakan penderitaannya belum cukup, Tobit juga harus menjadi buta setelah menguburkan korban pembunuhan. Dalam kehancuran hatinya, Tobit pun berdoa pada Tuhan dan Tuhan mendengar doanya.

Di saat yang bersamaan, ada Sara yang telah menikah tujuh kali namun suaminya selalu meninggal sehingga ia pun mendapat olok-olok dari pelayan keluarganya. Hal itu membuat dia sangat sedih dan ingin bunuh diri saja, namun dia tidak melakukannya karena dia begitu mengasihi orang tuanya dan dia ga mau menyakiti mereka. Dalam kehancuran hatinya, Sara pun berdoa pada Tuhan dan Tuhan mendengar doanya.

Allah mengutus malaikat Rafael untuk menyembuhkan mata Tobit yang buta dan mempertemukan Sara dengan suaminya, Tobia, anak Tobit. Gila ga sih, mak comblangnya tuh langsung Tuhan melalui malaikat🤣. Tidak seperti suami-suaminya sebelumnya, Tobia tidak meninggal setelah memperistrikan Sara. Ada satu hal yang sangat menyenangkan hatiku dalam kisah ini, yaitu ketika setelah mereka menikah, Tobia mengajak Sara untuk berdoa di Tobit 8:4-5.
Kemudian Tobia bangkit dari tempat tidur dan berkata kepada Sara: "Bangunlah adinda, mari kita berdoa dan mohon kepada Tuhan kita, semoga dianugerahkan-Nya belas kasihan serta perlindungan. Maka bangunlah Sara dan mereka berdua mulai berdoa dan mohon, supaya mereka mendapat perlindungan.
Mengapa aku suka sekali ayat itu? Karena aku yakin saat itu mereka sedang jatuh cinta berat sama satu lain, tapi itu ga membuyarkan mata dan hati mereka kepada Tuhan. Mereka tetap mengarahkan pandangan mereka ke arah yang sama yaitu ke Tuhan. Wow!

Kitab Tobit ini ga hanya menceritakan tentang pencarian pasangan hidup sih tapi juga tentang ups and downsnya kehidupan berkeluarga yang digambarkan Tobit dan Hana serta Raguel dan Edna. Kitab Tobit ini adanya di Alkitab Deuterokanonika yang dipakai Katolik doang sih, makanya sepertinya tidak semua orang familiar dengan kitab ini. Selain itu, sepertinya belum ada buku yang mengupas tentang kitab ini, seandainya ada...I would really love to have my hands on it.

3. Boas dan Rut
Sejujurnya, aku belum pernah membaca Alkitab cover to cover sehingga kisah yang sebenarnya Kitab Rut inipun kuketahui pertama kali dari buku Lady in Waiting yang bercerita tentang bagaimana menjadi seorang wanita yang mencintai dan dicintai Tuhan sebelum akhirnya mencintai seorang pria seumur hidupnya. Buku ini mengupas karakter Rut yang begitu setia dan taat pada Naomi (ibu dari mantan suaminya) dan Boas, pria yang akhirnya menjadi suami Rut.

Secara logika, Rut akan lebih diuntungkan jika ia memutuskan untuk kembali kepada bangsanya. Dia dapat menikah lagi dengan pria sebangsanya namun dia memilih untuk tinggal bersama Naomi, menyembah Allah dan tidak mau kembali ke kehidupan lamanya. Kesetiaan dan ketaatannya itupun mempertemukan dia dengan Boas yang juga berkarakter baik.

Buku Lady in Waiting mampu menjabarkan konsep berpacaran orang Kristen, mengapa kita harus menjaga kekudusan dan mengapa kita tidak seharusnya sibuk kuatir akan pasangan hidup tapi malah harusnya sibuk melayakkan diri. Aku pertama kali baca buku ini di tahun 2012 dan setiap kali aku baca lagi, aku seperti baru membacanya untuk pertama kali.

Selain ketiga pasangan di atas, aku sebenarnya juga suka membaca kisah Ishak dan Ribka yang dikisahkan di Kitab Kejadian dan buku I Kissed Dating Goodbye. Another book that I've been loving recently, baru aku baca 2019 kemarin padahal sudah aku miliki sejak 2012 adalah buku berjudul Hei, kata Tuhan: "Beranakcuculah!".  Aku harus menunggu 7 tahun untuk mau membaca buku ini karena awalnya aku berpikir bukunya akan terlalu berat untukku. Ternyata tidak, bukunya justru so relatable untuk perempuan dan laki-laki, single and married, tua dan muda.

Dan akhirnya, selamat berdoa, menanti, menjalani dan bersyukur.

With love,
Dian💓


Thursday, September 15, 2016

Resensi Novel : RANTAU 1 MUARA

September 15, 2016 0 Comments
Judul Buku                         : Rantau 1 Muara

Pengarang                          : A. Fuadi

Penerbit                             : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun Terbit                       : 2013

Jumlah Halaman                 : 395 halaman

Ukuran Dimensi                 : 13,5 x 20 cm


Setelah sukses dengan dua novel sebelumnya, Ahmad Fuadi kembali menelurkan novel terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara yaitu novel Rantau 1 Muara. Sama seperti pada novel Negeri 5 Menara dan novel Ranah 3 Warna, karya terbarunya ini menceritakan perjuangan seorang anak kampung dari pedalaman Sumatera Barat bernama Alif Fikri dalam mengejar impiannya hingga ke separuh belahan bumi. Berlatar belakang berbagai negara dan berbagai life-altering moment seperti tumbangnya rezim Soeharto dan tragedi 11/9, novel ini mampu membuat pembaca seakan ikut  merasakan berbagai pergolakan batin dan emosi yang dirasakan Alif di saat itu. Berbekal mantra baru yaitu Man Saar Ala Darbni Washal, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan, Alif mampu melewati berbagai masa kejatuhan dan kehilangannya dan bersaksi  bahwa Tuhan selalu membukakan jalan bagi setiap orang yang berserah kepada-Nya. Berbalut kisah romantis yang lebih kental, novel ini mampu membuat pembaca senyum-senyum sendiri membaca kisah cinta Alif dan Dinara, istri sekaligus rekan rekan terbaiknya.

Kisah itu dimulai ketika Alif Fikri kembali ke tanah air setelah menghabiskan 4 semester di Kanada dan Singapura sebagai duta muda dan visiting student mewakili Indonesia. Masa-masa kejayaannya sebagai mahasiswa telah usai dan  tiba saatnya bagi Alif untuk menamatkan perkuliahannya di Universitas Padjajaran dan mencari pekerjaan. Malang baginya ketika mengetahui dia menyandang status fresh graduate dan job seeker di saat yang kurang tepat yaitu masa krisis moneter alias krismon. Menyadari bahwa zaman semakin susah, pekerjaannya sebagai penulis tetap di surat kabar sudah tak terharapkan lagi dan dompetnya semakin kurus sementara Amak dan adik-adiknya di kampung juga mengharapkan bantuan dana dari dirinya, Alif pun mengirimkan surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Resume yang bagus dan kualifikasi tinggi yang dimiliki Alif ternyata tidak banyak membantu di kala perekonomian bangsa sedang morat-marit, banyak pekerja yang di PHK dan tak sedikit perusahaan yang  gulung tikar.  Semua suratnya dibalas dengan kalimat bermakna sama yaitu dia belum dapat diterima di perusahaan tersebut. Kegalauan hati karena belum juga mendapat pekerjaan semakin diperparah ketika dirinya bertemu dengan sahabat lama sekaligus rival terbesarnya, Randai, yang saat itu sedang berjalan dengan pacarnya, Raisa. Saat itu Randai sudah bekerja di sebuah perusahaan penerbangan dengan posisi dan penghasilan yang cukup besar. Kebiasaan mereka yang selalu bersaing dan menantang satu sama lain membuat Alif merasa semakin rendah diri terlebih Randai saat itu sedang bersama Raisa, yang dulu ditaksir oleh Alif sejak lama namun kemudian ditikung oleh Randai di belokan terakhir. 2-0 untuk Randai.

Namun seperti kata pepatah, “selalu ada pelangi sehabis hujan”, Alif akhirnya mendapat surat balasan yang bunyinya berbeda dengan surat-surat lainnya. Dia diterima bekerja sebagai reporter di Derap, sebuah perusahaan majalah berita nasional terkemuka yang diberedel semasa Orde Baru. Bergelar doktor, mondok di kantor, Alif belajar banyak hal di Derap. Dia belajar integritas dan seni dalam menyampaikan berita dengan berani, jujur dan bermartabat. Segera Alif menjadi seorang jurnalis yang hebat dan tulisannya berjudul “ Wawancara Pocong” merupakan prestasi terbaiknya selama di Derap. Tapi bukan Alif namanya jika ia puas dengan pencapaiannya saat ini. Dia bercita-cita untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2 di Amerika Serikat. Dia pun dengan giat mempersiapkan diri dengan belajar TOEFL dan GRE yang dibantu oleh Dinara, rekan kerja Alif yang sejak pertemuan pertama telah membuat Alif jatuh hati. Tak ada usaha yang sia-sia, Alif pun diterima sebagai penerima beasiswa fullbright di George Washington University, Amerika Serikat. 

Terpisah jarak dan waktu antara Washington DC dan Jakarta, Alif dan Dinara tetap berusaha untuk saling berkomunikasi baik melalui email, telepon maupun chatting via telnet.  Tak pernah secara resmi berpacaran, Alif akhirnya memutuskan untuk menikahi Dinara dan memboyongnya ke Amerika Serikat. Sama seperti keluarga muda lainnya, Alif dan Dinara juga mengalami masa susah senangnya mengarungi bahtera rumah tangga di negeri orang mulai dari harus bekerja paruh waktu sambil kuliah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari,  pertengkaran yang diakibatkan oleh kesalahpahaman, hingga kegemaran mereka untuk menjajal negeri Paman Sam sejauh mata memandang. Bagai mengulang kisah mereka ketika masih di Indonesia dulu, Alif dan Dinara kembali menjadi reporter sekaligus rekan kerja di American Broadcasting Network (ABN). Kinerja mereka yang luar biasa dan kebiasaan mereka untuk “beraksi” berdua membuat mereka mendapat julukan Dynamic Duo dari Tom, sang ketua tim. 

Indahnya kehidupan mereka selama di Washington mendadak porak-poranda ketika tragedi 11 September 2001 terjadi.  Alif harus kehilangan Mas Garuda, seorang saudara senegara sekaligus kakak terbaik yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Lelah menanti kabar dan mencari Mas Garuda selama berbulan-bulan,  Alif terpaksa harus merelakan kepergian orang yang ia kasihi  meski masih menyimpan harapan bahwa Mas Garuda selamat dari tragedi yang menewaskan ribuan orang dan menggemparkan dunia tersebut. 

Luka masih membekas di hati para keluarga dan korban selamat,  namun bumi terus berputar dan hidup harus terus dijalani. Setelah 5 tahun di Amerika Serikat menimba ilmu dan mencapai berbagai kesuksesan, Alif dan Dinara akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air untuk selamanya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan segala kenyamanan yang mereka miliki selama di negeri Paman Sam dan kembali ke Indonesia untuk mengabdi pada ibu pertiwi. 

Seakan ingin menyampaikan pesan bagi setiap pembaca untuk tidak pernah berhenti bermimpi setinggi langit dan berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut, novel yang diadaptasi dari kisah nyata pengalaman Ahmad Fuadi ini membuktikan bahwa ketika seseorang berusaha sekaligus berserah kepada Sang Pencipta, maka tak ada jalan yang tak terbuka. Alif membuktikan bahwa seorang anak kampung pun dapat berjaya di panggung dunia dan menunjukkan eksistensinya sebagai seorang penulis dan jurnalis di tingkat internasional. Namun kilau kesuksesan di negeri orang tidak menjadikan Alif dan Dinara terlena dan enggan kembali ke tanah air. Mereka menunjukkan bahwa tak peduli seberapa indahnya kehidupan di negeri orang, ibu pertiwi akan selalu menjadi tempat mereka berpulang. Sudah seharusnya pengalaman dan ilmu yang mereka timba selama di luar negri digunakan untuk membangun bangsa. Karena bagi mereka, muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan.