Thursday, September 15, 2016

# Book # Novel

Resensi Novel : RANTAU 1 MUARA

Judul Buku                         : Rantau 1 Muara

Pengarang                          : A. Fuadi

Penerbit                             : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun Terbit                       : 2013

Jumlah Halaman                 : 395 halaman

Ukuran Dimensi                 : 13,5 x 20 cm


Setelah sukses dengan dua novel sebelumnya, Ahmad Fuadi kembali menelurkan novel terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara yaitu novel Rantau 1 Muara. Sama seperti pada novel Negeri 5 Menara dan novel Ranah 3 Warna, karya terbarunya ini menceritakan perjuangan seorang anak kampung dari pedalaman Sumatera Barat bernama Alif Fikri dalam mengejar impiannya hingga ke separuh belahan bumi. Berlatar belakang berbagai negara dan berbagai life-altering moment seperti tumbangnya rezim Soeharto dan tragedi 11/9, novel ini mampu membuat pembaca seakan ikut  merasakan berbagai pergolakan batin dan emosi yang dirasakan Alif di saat itu. Berbekal mantra baru yaitu Man Saar Ala Darbni Washal, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan, Alif mampu melewati berbagai masa kejatuhan dan kehilangannya dan bersaksi  bahwa Tuhan selalu membukakan jalan bagi setiap orang yang berserah kepada-Nya. Berbalut kisah romantis yang lebih kental, novel ini mampu membuat pembaca senyum-senyum sendiri membaca kisah cinta Alif dan Dinara, istri sekaligus rekan rekan terbaiknya.

Kisah itu dimulai ketika Alif Fikri kembali ke tanah air setelah menghabiskan 4 semester di Kanada dan Singapura sebagai duta muda dan visiting student mewakili Indonesia. Masa-masa kejayaannya sebagai mahasiswa telah usai dan  tiba saatnya bagi Alif untuk menamatkan perkuliahannya di Universitas Padjajaran dan mencari pekerjaan. Malang baginya ketika mengetahui dia menyandang status fresh graduate dan job seeker di saat yang kurang tepat yaitu masa krisis moneter alias krismon. Menyadari bahwa zaman semakin susah, pekerjaannya sebagai penulis tetap di surat kabar sudah tak terharapkan lagi dan dompetnya semakin kurus sementara Amak dan adik-adiknya di kampung juga mengharapkan bantuan dana dari dirinya, Alif pun mengirimkan surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Resume yang bagus dan kualifikasi tinggi yang dimiliki Alif ternyata tidak banyak membantu di kala perekonomian bangsa sedang morat-marit, banyak pekerja yang di PHK dan tak sedikit perusahaan yang  gulung tikar.  Semua suratnya dibalas dengan kalimat bermakna sama yaitu dia belum dapat diterima di perusahaan tersebut. Kegalauan hati karena belum juga mendapat pekerjaan semakin diperparah ketika dirinya bertemu dengan sahabat lama sekaligus rival terbesarnya, Randai, yang saat itu sedang berjalan dengan pacarnya, Raisa. Saat itu Randai sudah bekerja di sebuah perusahaan penerbangan dengan posisi dan penghasilan yang cukup besar. Kebiasaan mereka yang selalu bersaing dan menantang satu sama lain membuat Alif merasa semakin rendah diri terlebih Randai saat itu sedang bersama Raisa, yang dulu ditaksir oleh Alif sejak lama namun kemudian ditikung oleh Randai di belokan terakhir. 2-0 untuk Randai.

Namun seperti kata pepatah, “selalu ada pelangi sehabis hujan”, Alif akhirnya mendapat surat balasan yang bunyinya berbeda dengan surat-surat lainnya. Dia diterima bekerja sebagai reporter di Derap, sebuah perusahaan majalah berita nasional terkemuka yang diberedel semasa Orde Baru. Bergelar doktor, mondok di kantor, Alif belajar banyak hal di Derap. Dia belajar integritas dan seni dalam menyampaikan berita dengan berani, jujur dan bermartabat. Segera Alif menjadi seorang jurnalis yang hebat dan tulisannya berjudul “ Wawancara Pocong” merupakan prestasi terbaiknya selama di Derap. Tapi bukan Alif namanya jika ia puas dengan pencapaiannya saat ini. Dia bercita-cita untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2 di Amerika Serikat. Dia pun dengan giat mempersiapkan diri dengan belajar TOEFL dan GRE yang dibantu oleh Dinara, rekan kerja Alif yang sejak pertemuan pertama telah membuat Alif jatuh hati. Tak ada usaha yang sia-sia, Alif pun diterima sebagai penerima beasiswa fullbright di George Washington University, Amerika Serikat. 

Terpisah jarak dan waktu antara Washington DC dan Jakarta, Alif dan Dinara tetap berusaha untuk saling berkomunikasi baik melalui email, telepon maupun chatting via telnet.  Tak pernah secara resmi berpacaran, Alif akhirnya memutuskan untuk menikahi Dinara dan memboyongnya ke Amerika Serikat. Sama seperti keluarga muda lainnya, Alif dan Dinara juga mengalami masa susah senangnya mengarungi bahtera rumah tangga di negeri orang mulai dari harus bekerja paruh waktu sambil kuliah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari,  pertengkaran yang diakibatkan oleh kesalahpahaman, hingga kegemaran mereka untuk menjajal negeri Paman Sam sejauh mata memandang. Bagai mengulang kisah mereka ketika masih di Indonesia dulu, Alif dan Dinara kembali menjadi reporter sekaligus rekan kerja di American Broadcasting Network (ABN). Kinerja mereka yang luar biasa dan kebiasaan mereka untuk “beraksi” berdua membuat mereka mendapat julukan Dynamic Duo dari Tom, sang ketua tim. 

Indahnya kehidupan mereka selama di Washington mendadak porak-poranda ketika tragedi 11 September 2001 terjadi.  Alif harus kehilangan Mas Garuda, seorang saudara senegara sekaligus kakak terbaik yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Lelah menanti kabar dan mencari Mas Garuda selama berbulan-bulan,  Alif terpaksa harus merelakan kepergian orang yang ia kasihi  meski masih menyimpan harapan bahwa Mas Garuda selamat dari tragedi yang menewaskan ribuan orang dan menggemparkan dunia tersebut. 

Luka masih membekas di hati para keluarga dan korban selamat,  namun bumi terus berputar dan hidup harus terus dijalani. Setelah 5 tahun di Amerika Serikat menimba ilmu dan mencapai berbagai kesuksesan, Alif dan Dinara akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air untuk selamanya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan segala kenyamanan yang mereka miliki selama di negeri Paman Sam dan kembali ke Indonesia untuk mengabdi pada ibu pertiwi. 

Seakan ingin menyampaikan pesan bagi setiap pembaca untuk tidak pernah berhenti bermimpi setinggi langit dan berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut, novel yang diadaptasi dari kisah nyata pengalaman Ahmad Fuadi ini membuktikan bahwa ketika seseorang berusaha sekaligus berserah kepada Sang Pencipta, maka tak ada jalan yang tak terbuka. Alif membuktikan bahwa seorang anak kampung pun dapat berjaya di panggung dunia dan menunjukkan eksistensinya sebagai seorang penulis dan jurnalis di tingkat internasional. Namun kilau kesuksesan di negeri orang tidak menjadikan Alif dan Dinara terlena dan enggan kembali ke tanah air. Mereka menunjukkan bahwa tak peduli seberapa indahnya kehidupan di negeri orang, ibu pertiwi akan selalu menjadi tempat mereka berpulang. Sudah seharusnya pengalaman dan ilmu yang mereka timba selama di luar negri digunakan untuk membangun bangsa. Karena bagi mereka, muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan.

No comments:

Post a Comment