Judul Buku :
Rantau 1 Muara
Pengarang :
A. Fuadi
Penerbit :
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit : 2013
Jumlah Halaman : 395 halaman
Setelah sukses dengan dua novel sebelumnya, Ahmad Fuadi kembali menelurkan novel terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara yaitu novel Rantau 1 Muara. Sama seperti pada novel Negeri 5 Menara dan novel Ranah 3 Warna, karya terbarunya ini menceritakan perjuangan seorang anak kampung dari pedalaman Sumatera Barat bernama Alif Fikri dalam mengejar impiannya hingga ke separuh belahan bumi. Berlatar belakang berbagai negara dan berbagai life-altering moment seperti tumbangnya rezim Soeharto dan tragedi 11/9, novel ini mampu membuat pembaca seakan ikut merasakan berbagai pergolakan batin dan emosi yang dirasakan Alif di saat itu. Berbekal mantra baru yaitu Man Saar Ala Darbni Washal, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan, Alif mampu melewati berbagai masa kejatuhan dan kehilangannya dan bersaksi bahwa Tuhan selalu membukakan jalan bagi setiap orang yang berserah kepada-Nya. Berbalut kisah romantis yang lebih kental, novel ini mampu membuat pembaca senyum-senyum sendiri membaca kisah cinta Alif dan Dinara, istri sekaligus rekan rekan terbaiknya.
Kisah itu dimulai
ketika Alif Fikri kembali ke tanah air setelah menghabiskan 4 semester di
Kanada dan Singapura sebagai duta muda dan visiting
student mewakili Indonesia. Masa-masa kejayaannya sebagai mahasiswa telah
usai dan tiba saatnya bagi Alif untuk
menamatkan perkuliahannya di Universitas Padjajaran dan mencari pekerjaan.
Malang baginya ketika mengetahui dia menyandang status fresh graduate dan job seeker
di saat yang kurang tepat yaitu masa krisis moneter alias krismon. Menyadari
bahwa zaman semakin susah, pekerjaannya sebagai penulis tetap di surat kabar
sudah tak terharapkan lagi dan dompetnya semakin kurus sementara Amak dan
adik-adiknya di kampung juga mengharapkan bantuan dana dari dirinya, Alif pun mengirimkan
surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Resume yang bagus dan kualifikasi
tinggi yang dimiliki Alif ternyata tidak banyak membantu di kala perekonomian
bangsa sedang morat-marit, banyak pekerja yang di PHK dan tak sedikit perusahaan
yang gulung tikar. Semua suratnya dibalas dengan kalimat
bermakna sama yaitu dia belum dapat diterima di perusahaan tersebut. Kegalauan
hati karena belum juga mendapat pekerjaan semakin diperparah ketika dirinya
bertemu dengan sahabat lama sekaligus rival terbesarnya, Randai, yang saat itu
sedang berjalan dengan pacarnya, Raisa. Saat itu Randai sudah bekerja di sebuah
perusahaan penerbangan dengan posisi dan penghasilan yang cukup besar.
Kebiasaan mereka yang selalu bersaing dan menantang satu sama lain membuat Alif
merasa semakin rendah diri terlebih Randai saat itu sedang bersama Raisa, yang
dulu ditaksir oleh Alif sejak lama namun kemudian ditikung oleh Randai di
belokan terakhir. 2-0 untuk Randai.
Namun seperti
kata pepatah, “selalu ada pelangi sehabis hujan”, Alif akhirnya mendapat surat
balasan yang bunyinya berbeda dengan surat-surat lainnya. Dia diterima bekerja
sebagai reporter di Derap, sebuah perusahaan majalah berita nasional terkemuka yang
diberedel semasa Orde Baru. Bergelar doktor, mondok di kantor, Alif belajar banyak hal di Derap. Dia belajar
integritas dan seni dalam menyampaikan berita dengan berani, jujur dan
bermartabat. Segera Alif menjadi seorang jurnalis yang hebat dan tulisannya
berjudul “ Wawancara Pocong” merupakan prestasi terbaiknya selama di Derap.
Tapi bukan Alif namanya jika ia puas dengan pencapaiannya saat ini. Dia
bercita-cita untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2 di Amerika Serikat.
Dia pun dengan giat mempersiapkan diri dengan belajar TOEFL dan GRE yang
dibantu oleh Dinara, rekan kerja Alif yang sejak pertemuan pertama telah
membuat Alif jatuh hati. Tak ada usaha yang sia-sia, Alif pun diterima sebagai
penerima beasiswa fullbright di
George Washington University, Amerika Serikat.
Terpisah jarak dan waktu antara
Washington DC dan Jakarta, Alif dan Dinara tetap berusaha untuk saling
berkomunikasi baik melalui email, telepon maupun chatting via telnet. Tak
pernah secara resmi berpacaran, Alif akhirnya memutuskan untuk menikahi Dinara
dan memboyongnya ke Amerika Serikat. Sama seperti keluarga muda lainnya, Alif dan
Dinara juga mengalami masa susah senangnya mengarungi bahtera rumah tangga di
negeri orang mulai dari harus bekerja paruh waktu sambil kuliah untuk membiayai
kebutuhan sehari-hari, pertengkaran yang
diakibatkan oleh kesalahpahaman, hingga kegemaran mereka untuk menjajal negeri Paman
Sam sejauh mata memandang. Bagai mengulang kisah mereka ketika masih di
Indonesia dulu, Alif dan Dinara kembali menjadi reporter sekaligus rekan kerja
di American Broadcasting Network (ABN). Kinerja mereka yang luar biasa dan
kebiasaan mereka untuk “beraksi” berdua membuat mereka mendapat julukan Dynamic Duo dari Tom, sang ketua tim.
Indahnya
kehidupan mereka selama di Washington mendadak porak-poranda ketika tragedi 11
September 2001 terjadi. Alif harus
kehilangan Mas Garuda, seorang saudara senegara sekaligus kakak terbaik yang
tak pernah ia miliki sebelumnya. Lelah menanti kabar dan mencari Mas Garuda selama
berbulan-bulan, Alif terpaksa harus
merelakan kepergian orang yang ia kasihi meski masih menyimpan harapan
bahwa Mas Garuda selamat dari tragedi yang menewaskan ribuan orang dan
menggemparkan dunia tersebut.
Luka masih
membekas di hati para keluarga dan korban selamat, namun bumi terus berputar dan
hidup harus terus dijalani. Setelah 5 tahun di Amerika Serikat menimba ilmu dan
mencapai berbagai kesuksesan, Alif dan Dinara akhirnya memutuskan untuk kembali
ke tanah air untuk selamanya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan segala
kenyamanan yang mereka miliki selama di negeri Paman Sam dan kembali ke
Indonesia untuk mengabdi pada ibu pertiwi.
Seakan ingin menyampaikan pesan bagi
setiap pembaca untuk tidak pernah berhenti bermimpi setinggi langit dan
berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut, novel yang diadaptasi dari kisah
nyata pengalaman Ahmad Fuadi ini membuktikan bahwa ketika seseorang berusaha
sekaligus berserah kepada Sang Pencipta, maka tak ada jalan yang tak terbuka.
Alif membuktikan bahwa seorang anak kampung pun dapat berjaya di panggung dunia
dan menunjukkan eksistensinya sebagai seorang penulis dan jurnalis di tingkat
internasional. Namun kilau kesuksesan di negeri orang tidak menjadikan Alif dan
Dinara terlena dan enggan kembali ke tanah air. Mereka menunjukkan bahwa tak
peduli seberapa indahnya kehidupan di negeri orang, ibu pertiwi akan selalu
menjadi tempat mereka berpulang. Sudah seharusnya pengalaman dan ilmu yang
mereka timba selama di luar negri digunakan untuk membangun bangsa. Karena bagi
mereka, muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi.
Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat.
Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan.
No comments:
Post a Comment