Showing posts with label Book. Show all posts
Showing posts with label Book. Show all posts

Thursday, February 27, 2020

My Favourite Love Stories

February 27, 2020 2 Comments
Seperti gadis-gadis pada umumnya, kisah romantis ala disney dan film hollywood merupakan cerita yang paling menarik buatku. Setelah kurenung-renungkan, ternyata kami para gadis (atau setidaknya, aku doang), sudah punya "konsep" cinta, pernikahan, "prince charming with a shining armor" yang kami adopsi dari berbagai media sejak kecil. Kisah cinta, jika bukan sebagai tema utama, akan dijadikan sebagai pemanis untuk setiap cerita. Well, as a hopeless romantic person, aku sih senang-senang aja dengan itu. Love story is still my favorite of all.

Photo by Roman Kraft on Unsplash
Tapiii..of all love stories yang pernah ak baca, dengar atau tonton, ada 3 kisah yang paling mengena buatku dan entah kenapa, tiap aku baca ulang, aku senyum-senyum bacanya. Terlepas dari kejadiannya yang terjadi ribuan tahun yang lalu, entah kenapa cerita ini justru sangat relatable buatku. Mulai dari kegalauannya, penantiannya hingga kehidupan setelah pernikahannya.

I've been willing to write about this since long ago. Postingan ini pun sudah di draft blog sejak 26 April 2018 dan baru diselesaikan sekarang (procasinator emang 😜). Semakin memasuki usia dewasa, aku yakin banyak orang yang mengalami apa yang kualami, mulai mencari konsep kehidupan masa depan. Apakah aku butuh teman hidup? Jika ya, apakah aku siap untuk membina hubungan saat ini? bagaimana dengan ambisi untuk berkarir, ingin sekolah lagi? konsep hubungan seperti apa yang kuinginkan? apa peranku dalam sebuah hubungan? pasangan seperti apa yang kuinginkan? apa yang aku dan pasanganku perlu capai dalam sebuah hubungan? and so on.

Sejak secara tidak sengaja menemukan kisah-kisah ini, konsepku tentang hubungan, "prince charming" dan pernikahan pelan-pelan bergeser walaupun proses pergeserannya sampai bertahun-tahun. Dari yang respon awalku "nah, cowo tuh harusnya giniiii.." sampai kesini-kesini, responku adalah "bisa ga ya aku kayak si tokoh cewe?". By the way, ketiga cerita ini adalah kisah Alkitab. Trust me, ini tuh ga "sejauh dan se-celestial" itu. This is so relatable, aku pun tidak dalam posisi menggurui bagaimana seseorang seharusnya menjalani hubungannya, what do I know. I literally share this as a personal admiration of the characters, the stories and how God involved in their life.

1. Yusuf dan Maria
Aku baru merenungkan kisah Yusuf dan Maria setahunan ini and they suddenly became my favorite couple of all. Selama ini, tiap membaca dan mendengar kisah kelahiran Yesus, aku fokus pada Yesusnya aja (ya emang harusnya begitu sih) tapi trus aku menyadari kalo Allah ga mungkin nitipin Anak-Nya ke orang sembarangan.

Dalam gereja Katolik, Yusuf dijuluki pelindung keluarga Nazaret. Sosoknya ga banyak ngomong tapi justru karna ketenangan itulah dia jadi bisa dengar-dengaran sama Tuhan melalui malaikat Gabriel. Dia ingin meninggalkan Maria, tunanganannya, secara diam-diam karena tidak ingin mencemarkan nama Maria. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk tetap mengambil Maria sebagai istrinya karena dia taat dengan perkataan Tuhan melalui malaikat Gabriel.Tulus banget kan 😊. Dia juga terus menjagai Maria dan Yesus ketika raja berniat membunuh Yesus, hingga menyingkir ke Mesir.

Maria juga perempuan yang taat dan rela dipakai Tuhan untuk karya keselamatan Bapa. Satu perkataan Maria yang selalu kuingat adalah fiat voluntas tua, aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu. Mana ada sih seorang gadis yang mau hamil sebelum bersuami? Aku yakin bahwa Maria tau risiko yang dihadapinya bersedia untuk mengandung Yesus, tapi dia percaya banget bahwa masa depannya dijamin sama Tuhan. Selain itu, Maria juga sama seperti Yusuf, sepertinya tidak banyak ngomong dan hanya menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.

Kalo di zaman sekarang, relationship counselor suka bilang "cari pasangan yang satu value, blablabla...", Maria dan Yusuf kurang satu value apa lagi? Mereka sampai disanggupkan untuk melewati perjalanan panjang menuju Bethlehem, menyingkir ke Mesir, kembali ke Nazaret dan berbagai tantangan yang harus dihadapi sebagai orang tua Yesus. Value mereka apa? ya, mereka nyender dan mandangnya ke Tuhan aja, jadi dua-duanya bisa jalan searah.

2. Tobia dan Sara
Aku sukaaaaa sekali dengan Kitab Tobit ini. There's nothing I dislike about this book. Kitab ini menceritakan tentang 3 keluarga yang taat, mencintai sesama dan sangat mencintai Tuhan. Baik orang yang sudah menikah maupun yang belum menikah dapat berkaca pada tokoh Tobit dan Hana (orang tua Tobia), Raguel dan Edna (orang tua Sara), Tobia dan Sara.

Dikisahkan, Tobit adalah orang yang penuh cinta kasih terhadap sesamanya yang saat itu sedang di pembuangan di Niniwe. Kebaikan hatinya itupun mengakibatkan dia harus hidup dikejar-kejar raja, terancam dibunuh dan diolok-olok oleh tetangganya. Seakan penderitaannya belum cukup, Tobit juga harus menjadi buta setelah menguburkan korban pembunuhan. Dalam kehancuran hatinya, Tobit pun berdoa pada Tuhan dan Tuhan mendengar doanya.

Di saat yang bersamaan, ada Sara yang telah menikah tujuh kali namun suaminya selalu meninggal sehingga ia pun mendapat olok-olok dari pelayan keluarganya. Hal itu membuat dia sangat sedih dan ingin bunuh diri saja, namun dia tidak melakukannya karena dia begitu mengasihi orang tuanya dan dia ga mau menyakiti mereka. Dalam kehancuran hatinya, Sara pun berdoa pada Tuhan dan Tuhan mendengar doanya.

Allah mengutus malaikat Rafael untuk menyembuhkan mata Tobit yang buta dan mempertemukan Sara dengan suaminya, Tobia, anak Tobit. Gila ga sih, mak comblangnya tuh langsung Tuhan melalui malaikat🤣. Tidak seperti suami-suaminya sebelumnya, Tobia tidak meninggal setelah memperistrikan Sara. Ada satu hal yang sangat menyenangkan hatiku dalam kisah ini, yaitu ketika setelah mereka menikah, Tobia mengajak Sara untuk berdoa di Tobit 8:4-5.
Kemudian Tobia bangkit dari tempat tidur dan berkata kepada Sara: "Bangunlah adinda, mari kita berdoa dan mohon kepada Tuhan kita, semoga dianugerahkan-Nya belas kasihan serta perlindungan. Maka bangunlah Sara dan mereka berdua mulai berdoa dan mohon, supaya mereka mendapat perlindungan.
Mengapa aku suka sekali ayat itu? Karena aku yakin saat itu mereka sedang jatuh cinta berat sama satu lain, tapi itu ga membuyarkan mata dan hati mereka kepada Tuhan. Mereka tetap mengarahkan pandangan mereka ke arah yang sama yaitu ke Tuhan. Wow!

Kitab Tobit ini ga hanya menceritakan tentang pencarian pasangan hidup sih tapi juga tentang ups and downsnya kehidupan berkeluarga yang digambarkan Tobit dan Hana serta Raguel dan Edna. Kitab Tobit ini adanya di Alkitab Deuterokanonika yang dipakai Katolik doang sih, makanya sepertinya tidak semua orang familiar dengan kitab ini. Selain itu, sepertinya belum ada buku yang mengupas tentang kitab ini, seandainya ada...I would really love to have my hands on it.

3. Boas dan Rut
Sejujurnya, aku belum pernah membaca Alkitab cover to cover sehingga kisah yang sebenarnya Kitab Rut inipun kuketahui pertama kali dari buku Lady in Waiting yang bercerita tentang bagaimana menjadi seorang wanita yang mencintai dan dicintai Tuhan sebelum akhirnya mencintai seorang pria seumur hidupnya. Buku ini mengupas karakter Rut yang begitu setia dan taat pada Naomi (ibu dari mantan suaminya) dan Boas, pria yang akhirnya menjadi suami Rut.

Secara logika, Rut akan lebih diuntungkan jika ia memutuskan untuk kembali kepada bangsanya. Dia dapat menikah lagi dengan pria sebangsanya namun dia memilih untuk tinggal bersama Naomi, menyembah Allah dan tidak mau kembali ke kehidupan lamanya. Kesetiaan dan ketaatannya itupun mempertemukan dia dengan Boas yang juga berkarakter baik.

Buku Lady in Waiting mampu menjabarkan konsep berpacaran orang Kristen, mengapa kita harus menjaga kekudusan dan mengapa kita tidak seharusnya sibuk kuatir akan pasangan hidup tapi malah harusnya sibuk melayakkan diri. Aku pertama kali baca buku ini di tahun 2012 dan setiap kali aku baca lagi, aku seperti baru membacanya untuk pertama kali.

Selain ketiga pasangan di atas, aku sebenarnya juga suka membaca kisah Ishak dan Ribka yang dikisahkan di Kitab Kejadian dan buku I Kissed Dating Goodbye. Another book that I've been loving recently, baru aku baca 2019 kemarin padahal sudah aku miliki sejak 2012 adalah buku berjudul Hei, kata Tuhan: "Beranakcuculah!".  Aku harus menunggu 7 tahun untuk mau membaca buku ini karena awalnya aku berpikir bukunya akan terlalu berat untukku. Ternyata tidak, bukunya justru so relatable untuk perempuan dan laki-laki, single and married, tua dan muda.

Dan akhirnya, selamat berdoa, menanti, menjalani dan bersyukur.

With love,
Dian💓


Wednesday, April 25, 2018

Twenties and The Quarter Life Crisis

April 25, 2018 0 Comments
It's sooo cold outside and I'm crawling in my office chair with my jacket, socks and neck pillow. Office hour is over, I could go home anytime but the weather gives me this weird feeling. That weird feeling when you realize something is off, but you have no idea what it is. It's like something is missing, but you're not sure if it really is missing or it's just something you never had.

This reminds me of the night talk I had with my friends last week. I don't know what happen to the world outside of this wall I built for myself, but all of a sudden, all my closest friends including my brother was talking about their confusion, dissatisfaction, relationship issues, how they wish everything was different and how everything pushed them to the brink of anxiety.

Well, I am no capable in consulting people with their problems.  The only way I could do was being their chat buddy, staying awake with them till 2 a.m, listening to them and telling them that everything is gonna be okay.

I myself, was struggling with anxiety last couple of months, thus I can relate to them and have empathy to what they're going through. Thank goodness I am surrounded with the love of family and the support of friends who are just one Whatsapp chat away, and suddenly I'm not alone anymore. They're my bubble. They keep me safe, untouched, unscratched.

I notice the same theme from all the stories of my friends and mine. We're in our early twenties, passionate, fascinated with happiness and success, new to our work, career and to pretty much everything. And according to my online search, and long and deep discussions with my other friend, we're in our Quarter Life Crisis!

So, what's quarter life crisis?

https://www.independent.co.uk/life-style/quarter-life-crisis-age-most-likely-job-work-relationships-linkedin-career-house-money-a8054616.html
What are the signs that we're having quarter life crisis?

Well, each individual has different experience and there are so many articles online listing 10 or 15 or 25 signs of quarter life crisis. But let me infer according to our experience:
  • You're so determined. You want to achieve more that's why you  become so hard on yourself, put too much pressure on yourself
  • Fearing to fail
  • You avoid expectation and disappointment
  • Your work is boring and you're not sure if you're on the right track
  • You're anxious all the time. Then, you're anxious for being anxious all the time. Multiple anxiety!
  • You're stuck between being in charge of everything in your life (cause you have trust issue) and surrendering everything to divine intervention
  • You're so sick of people telling you what to do, but you always obey, then you end up feeling trapped and betrayed
  • There's a volcano of anger inside of you and ready to erupt anytime
  • Everybody's having their life together, except you 
  • Detachment and the feeling of not fitting in
  • You avoid discussion about your personal life cause you know you're so easily irritated lately
  • You wish everything was different
  • You don't know whether you should be dating and having casual fun or looking for the one and settling down cause everybody tells you something different
  • The last thing you want in your life right now is emotional attachment cause you're afraid of getting hurt again
  • and the list goes on. 
 Who are the ones likely to "suffer" from this kind of crisis?

https://lifehacker.com/how-to-overcome-your-quarter-life-crisis-1782670670
 See? mid twenties!

Where'd you get it?
https://lifehacker.com/how-to-overcome-your-quarter-life-crisis-1782670670

 How to overcome this crisis?
https://lifehacker.com/how-to-overcome-your-quarter-life-crisis-1782670670
I couldn't agree more to what's written in the article. I write a lot when I feel down. I did this even before reading those articles about quarter life crisis. I also bought books (and still do) about anxiety and self-help. I read a lot, I even read the bible not necessarily because I'm religious but because I'm in search  of inner peace, I need to calm myself down. Both writing and reading are so therapeutic for me.

The books that I've been reading right now are "Anxious for Nothing" by Max Lucado and "The Subtle Art of  Not Giving A Fuck" by Mark Manson, and "I Kissed Dating Goodbye" by Joshua Harris is still in queue. I don't know if they would help. I don't even care if they're relevant. As I said before, I'm in search.

I also talk to people I trust, whom I know won't judge me, won't see me less normal. I love talking to my brother, Paul, and chatting with closest friends. People need to share their thought, their burden. Sometimes we don't need solution, all we need is to be heard.

So, for those who of you who can relate with this condition, you should know that you are not alone on this and it's normal to have anxiety. You don't have to be anxious for being anxious😉. Everybody's going through or at least has been through a crisis unless you're a non-achiever and not willing to elevate. Everybody is fighting their own battle other people know nothing about(that's why we should always be kind).

One day, you'll stop and look behind, "Man, I was so stressed out back then, but I made it. I came out just fine" 

Hold on, you'll get through this and everything will fall to places. 

Lots of love,

Thursday, February 22, 2018

Worry Not, Soul!

February 22, 2018 4 Comments

This was us at Bungsu's babtism and Paul insisted on wearing the new helmet during Sunday Mass. He "ruined" our first family photo but now it is one of our funny memories and this photo is definitely all family members' favorite.

Remember when you’re still kids? What did scare you the most? What was your deepest fear?

Well, mine was sleeping alone.
I remembered sleeping together with my mom, dad and my four little brothers in one bed every night. Some kids slept parallelly with my parents, others would be sleeping above their heads and others below their feet. Any sparse area would be filled with mom and dad as the center. 

When I was 4, our bodies grew bigger and the bed didn’t fit us anymore. So, my dad placed another bed in the bedroom, for me and one of my brothers. They arranged those beds lengthwise, so we could sleep head to head with my parents. Every night, they put the two of us in the bed and at midnight, my brother would move back to my parents bed and left me alone. I could’t sleep afterwards, the only thing that would put me back to sleep was my dad’s outstretched hand from their bed, holding my hand all night long.

While I was in elementary and middle school, my biggest anxiety was merely undone homeworks and pop quizzes. 

Growing up as a teenage, I was active and involved in many school activities but deep inside, I was the shy girl who never felt good enough about herself. I didn’t fit in any group therefore I would be the one standing alone at the edge of the field after a traditional dance rehearsal, or I would diffuse in the crowd with no one to talk to. I always felt so much behind the conversation. Perhaps, I was the nerdy girl among the social butterflies. 

The anxiety of being in the crowd grew deeper when I was in college. I didn’t know how to start a conversation and keep it up without a boring silence. Attending community made me tired instantly and being alone recharged me. I enjoyed the company of closed friends but not for a long time. 

As I grow older, I realized that all these years, I only worried about the present. I only worried about what made me comfortable and what not. I never thought of the past and the future.
I should become more certain and braver by now, as I age, but in fact, many more things thrill me. A pitch dark room scares me no more, I have no more homeworks and exams that will keep me up till dawn yet I have trouble sleeping and hesitation to decide.

I never know that the past can be so scary, let alone the future. Failures haunt me and everytime I try to start anew, the thought will play in my head on and on like a broken cassette. But if I don’t move on, if don’t push myself, if don’t challenge myself, what will I be?

I know what I want in life, it’s just that I’m too scared to fail again, till one day I picked this random book from a book shelf in Gramedia, 99 Wisdom by Gobin Vashdev. I fell in love with the way he elaborates his thought about life into encouraging words. And the one that I hold on to these days is


I think, I’ve been trying to carry too much baggage and it’s about time I will stumble upon it. So, I need to let go and travel light. 
I need to do what I need to do without too much worrying about the outcome, stop trying to control everything, anticipate every options and surrender the rest to Divine Intervention.

Luke 12:27-29
27 “Consider how the wild flowers grow. They do not labor or spin. Yet I tell you, not even Solomon in all his splendor was dressed like one of these. 28 If that is how God clothes the grass of the field, which is here today, and tomorrow is thrown into the fire, how much more will he clothe you—you of little faith! 29 And do not set your heart on what you will eat or drink; do not worry about it.
All these years, I have everything laid down in front of me just at the right time, never too early, never too late. The life I have now is nothing like what I had imagined when I was a kid. People from my childhood look at me with an awe for what I am right now. Life has treated me well so far. 

So, why worry so much, girl? 
Now, chin up and embrace the future! 👊💢




Ps: 99 Wisdom is the second book of Gobind Vashdev that I read. My first one was Happiness Inside and to be honest, I like the first one better than the second one. In my opinion, Gobind can tell the stories more lavishly in Happiness Inside while in 99 Wisdom, he is limited to elaborate the idea into shorter stories since he has to load 99 chapters into one book.  But either way, I love them both and I've been keeping these books at the edge of my bed along with my bible.

Thursday, September 15, 2016

Resensi Novel : RANTAU 1 MUARA

September 15, 2016 0 Comments
Judul Buku                         : Rantau 1 Muara

Pengarang                          : A. Fuadi

Penerbit                             : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun Terbit                       : 2013

Jumlah Halaman                 : 395 halaman

Ukuran Dimensi                 : 13,5 x 20 cm


Setelah sukses dengan dua novel sebelumnya, Ahmad Fuadi kembali menelurkan novel terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara yaitu novel Rantau 1 Muara. Sama seperti pada novel Negeri 5 Menara dan novel Ranah 3 Warna, karya terbarunya ini menceritakan perjuangan seorang anak kampung dari pedalaman Sumatera Barat bernama Alif Fikri dalam mengejar impiannya hingga ke separuh belahan bumi. Berlatar belakang berbagai negara dan berbagai life-altering moment seperti tumbangnya rezim Soeharto dan tragedi 11/9, novel ini mampu membuat pembaca seakan ikut  merasakan berbagai pergolakan batin dan emosi yang dirasakan Alif di saat itu. Berbekal mantra baru yaitu Man Saar Ala Darbni Washal, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan, Alif mampu melewati berbagai masa kejatuhan dan kehilangannya dan bersaksi  bahwa Tuhan selalu membukakan jalan bagi setiap orang yang berserah kepada-Nya. Berbalut kisah romantis yang lebih kental, novel ini mampu membuat pembaca senyum-senyum sendiri membaca kisah cinta Alif dan Dinara, istri sekaligus rekan rekan terbaiknya.

Kisah itu dimulai ketika Alif Fikri kembali ke tanah air setelah menghabiskan 4 semester di Kanada dan Singapura sebagai duta muda dan visiting student mewakili Indonesia. Masa-masa kejayaannya sebagai mahasiswa telah usai dan  tiba saatnya bagi Alif untuk menamatkan perkuliahannya di Universitas Padjajaran dan mencari pekerjaan. Malang baginya ketika mengetahui dia menyandang status fresh graduate dan job seeker di saat yang kurang tepat yaitu masa krisis moneter alias krismon. Menyadari bahwa zaman semakin susah, pekerjaannya sebagai penulis tetap di surat kabar sudah tak terharapkan lagi dan dompetnya semakin kurus sementara Amak dan adik-adiknya di kampung juga mengharapkan bantuan dana dari dirinya, Alif pun mengirimkan surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Resume yang bagus dan kualifikasi tinggi yang dimiliki Alif ternyata tidak banyak membantu di kala perekonomian bangsa sedang morat-marit, banyak pekerja yang di PHK dan tak sedikit perusahaan yang  gulung tikar.  Semua suratnya dibalas dengan kalimat bermakna sama yaitu dia belum dapat diterima di perusahaan tersebut. Kegalauan hati karena belum juga mendapat pekerjaan semakin diperparah ketika dirinya bertemu dengan sahabat lama sekaligus rival terbesarnya, Randai, yang saat itu sedang berjalan dengan pacarnya, Raisa. Saat itu Randai sudah bekerja di sebuah perusahaan penerbangan dengan posisi dan penghasilan yang cukup besar. Kebiasaan mereka yang selalu bersaing dan menantang satu sama lain membuat Alif merasa semakin rendah diri terlebih Randai saat itu sedang bersama Raisa, yang dulu ditaksir oleh Alif sejak lama namun kemudian ditikung oleh Randai di belokan terakhir. 2-0 untuk Randai.

Namun seperti kata pepatah, “selalu ada pelangi sehabis hujan”, Alif akhirnya mendapat surat balasan yang bunyinya berbeda dengan surat-surat lainnya. Dia diterima bekerja sebagai reporter di Derap, sebuah perusahaan majalah berita nasional terkemuka yang diberedel semasa Orde Baru. Bergelar doktor, mondok di kantor, Alif belajar banyak hal di Derap. Dia belajar integritas dan seni dalam menyampaikan berita dengan berani, jujur dan bermartabat. Segera Alif menjadi seorang jurnalis yang hebat dan tulisannya berjudul “ Wawancara Pocong” merupakan prestasi terbaiknya selama di Derap. Tapi bukan Alif namanya jika ia puas dengan pencapaiannya saat ini. Dia bercita-cita untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2 di Amerika Serikat. Dia pun dengan giat mempersiapkan diri dengan belajar TOEFL dan GRE yang dibantu oleh Dinara, rekan kerja Alif yang sejak pertemuan pertama telah membuat Alif jatuh hati. Tak ada usaha yang sia-sia, Alif pun diterima sebagai penerima beasiswa fullbright di George Washington University, Amerika Serikat. 

Terpisah jarak dan waktu antara Washington DC dan Jakarta, Alif dan Dinara tetap berusaha untuk saling berkomunikasi baik melalui email, telepon maupun chatting via telnet.  Tak pernah secara resmi berpacaran, Alif akhirnya memutuskan untuk menikahi Dinara dan memboyongnya ke Amerika Serikat. Sama seperti keluarga muda lainnya, Alif dan Dinara juga mengalami masa susah senangnya mengarungi bahtera rumah tangga di negeri orang mulai dari harus bekerja paruh waktu sambil kuliah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari,  pertengkaran yang diakibatkan oleh kesalahpahaman, hingga kegemaran mereka untuk menjajal negeri Paman Sam sejauh mata memandang. Bagai mengulang kisah mereka ketika masih di Indonesia dulu, Alif dan Dinara kembali menjadi reporter sekaligus rekan kerja di American Broadcasting Network (ABN). Kinerja mereka yang luar biasa dan kebiasaan mereka untuk “beraksi” berdua membuat mereka mendapat julukan Dynamic Duo dari Tom, sang ketua tim. 

Indahnya kehidupan mereka selama di Washington mendadak porak-poranda ketika tragedi 11 September 2001 terjadi.  Alif harus kehilangan Mas Garuda, seorang saudara senegara sekaligus kakak terbaik yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Lelah menanti kabar dan mencari Mas Garuda selama berbulan-bulan,  Alif terpaksa harus merelakan kepergian orang yang ia kasihi  meski masih menyimpan harapan bahwa Mas Garuda selamat dari tragedi yang menewaskan ribuan orang dan menggemparkan dunia tersebut. 

Luka masih membekas di hati para keluarga dan korban selamat,  namun bumi terus berputar dan hidup harus terus dijalani. Setelah 5 tahun di Amerika Serikat menimba ilmu dan mencapai berbagai kesuksesan, Alif dan Dinara akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air untuk selamanya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan segala kenyamanan yang mereka miliki selama di negeri Paman Sam dan kembali ke Indonesia untuk mengabdi pada ibu pertiwi. 

Seakan ingin menyampaikan pesan bagi setiap pembaca untuk tidak pernah berhenti bermimpi setinggi langit dan berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut, novel yang diadaptasi dari kisah nyata pengalaman Ahmad Fuadi ini membuktikan bahwa ketika seseorang berusaha sekaligus berserah kepada Sang Pencipta, maka tak ada jalan yang tak terbuka. Alif membuktikan bahwa seorang anak kampung pun dapat berjaya di panggung dunia dan menunjukkan eksistensinya sebagai seorang penulis dan jurnalis di tingkat internasional. Namun kilau kesuksesan di negeri orang tidak menjadikan Alif dan Dinara terlena dan enggan kembali ke tanah air. Mereka menunjukkan bahwa tak peduli seberapa indahnya kehidupan di negeri orang, ibu pertiwi akan selalu menjadi tempat mereka berpulang. Sudah seharusnya pengalaman dan ilmu yang mereka timba selama di luar negri digunakan untuk membangun bangsa. Karena bagi mereka, muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan.