Monday, September 26, 2016

Surfing for First Timers and Where to Stay in Nias Island

September 26, 2016 1 Comments
I have talked enough about the beauty of the beaches in Teluk Dalam. But for now, I am beyond excited to share my very first experience surfing. Ya I know, this is a little unbelievable. Growing up and living in Nias Island doesn’t automatically make me an expert in water. I can only swim in steady and calm water like in swimming pool and only once snorkeled before, and it’s not even in Nias waters. Moreover my first experience dragging a surfboard and riding it was last weekend.  This is a little embarassing since Nias Island especially Sorake Beach in Teluk Dalam is well known for its big wave so that people from all over the world would travel almost half the globe just to surf and conquer the wave. Based on my first time surfing experience, I’d like to say that it’s so addictive and it made you feel so small and powerfull at the same time when we could make it through the big waves. Now I understand why people are so crazily into surfing.




Well for first timers, I don’t suggest you to try surfing at Sorake Beach. The wave is too big and so many coral at the beach. They’re dangerous combination for amateur. Try learning to surf at Lagundri Beach, instead. The wave is much tamer and the beach is also vast and free from coral. You can easily find a place to rent the surfboards from the locals. They have the boards for the pro ones and the first timers. I don’t really understand the difference but from what I see, the boards for the amateurs are slightly wider and it’s not entirely flat like for the pro one. The rent cost is Rp 30.000,- for the pro one and Rp 50.000,- for the amateur. If you need coaching, you can ask for a coach and the fare is Rp 150.000,- per hour including the surfboard. 

The last time I came to Teluk Dalam was with my officemates and we decided to spend 2 days and one night in Sorake Beach. We stayed in a nice homestay named Home@Nias Accomodation. This two-stories homestay  consists of two bedrooms at the second floor and one kitchen at the first floor. The bedrooms have twin beds and one bathroom for each room.. The room rate is Rp 300.000,- per room per night excluding meals. Meals are prepared by order, the menu and the price is also negotiable. Well I must admit that the price is a bit too expensive compared with the amenities we could get with the same rate from hotels in the big cities. But since this is touristry area and mostly who stay in the homestays are  foreigners, the price is understandable. There are 20 of us so clearly the beds are not enough for us so we asked for extrabeds. They charged us Rp 50.000,- per bed .




For more info, you can visit www.niassurfaccommodation.com.au

Thursday, September 15, 2016

Resensi Novel : RANTAU 1 MUARA

September 15, 2016 0 Comments
Judul Buku                         : Rantau 1 Muara

Pengarang                          : A. Fuadi

Penerbit                             : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun Terbit                       : 2013

Jumlah Halaman                 : 395 halaman

Ukuran Dimensi                 : 13,5 x 20 cm


Setelah sukses dengan dua novel sebelumnya, Ahmad Fuadi kembali menelurkan novel terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara yaitu novel Rantau 1 Muara. Sama seperti pada novel Negeri 5 Menara dan novel Ranah 3 Warna, karya terbarunya ini menceritakan perjuangan seorang anak kampung dari pedalaman Sumatera Barat bernama Alif Fikri dalam mengejar impiannya hingga ke separuh belahan bumi. Berlatar belakang berbagai negara dan berbagai life-altering moment seperti tumbangnya rezim Soeharto dan tragedi 11/9, novel ini mampu membuat pembaca seakan ikut  merasakan berbagai pergolakan batin dan emosi yang dirasakan Alif di saat itu. Berbekal mantra baru yaitu Man Saar Ala Darbni Washal, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan, Alif mampu melewati berbagai masa kejatuhan dan kehilangannya dan bersaksi  bahwa Tuhan selalu membukakan jalan bagi setiap orang yang berserah kepada-Nya. Berbalut kisah romantis yang lebih kental, novel ini mampu membuat pembaca senyum-senyum sendiri membaca kisah cinta Alif dan Dinara, istri sekaligus rekan rekan terbaiknya.

Kisah itu dimulai ketika Alif Fikri kembali ke tanah air setelah menghabiskan 4 semester di Kanada dan Singapura sebagai duta muda dan visiting student mewakili Indonesia. Masa-masa kejayaannya sebagai mahasiswa telah usai dan  tiba saatnya bagi Alif untuk menamatkan perkuliahannya di Universitas Padjajaran dan mencari pekerjaan. Malang baginya ketika mengetahui dia menyandang status fresh graduate dan job seeker di saat yang kurang tepat yaitu masa krisis moneter alias krismon. Menyadari bahwa zaman semakin susah, pekerjaannya sebagai penulis tetap di surat kabar sudah tak terharapkan lagi dan dompetnya semakin kurus sementara Amak dan adik-adiknya di kampung juga mengharapkan bantuan dana dari dirinya, Alif pun mengirimkan surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Resume yang bagus dan kualifikasi tinggi yang dimiliki Alif ternyata tidak banyak membantu di kala perekonomian bangsa sedang morat-marit, banyak pekerja yang di PHK dan tak sedikit perusahaan yang  gulung tikar.  Semua suratnya dibalas dengan kalimat bermakna sama yaitu dia belum dapat diterima di perusahaan tersebut. Kegalauan hati karena belum juga mendapat pekerjaan semakin diperparah ketika dirinya bertemu dengan sahabat lama sekaligus rival terbesarnya, Randai, yang saat itu sedang berjalan dengan pacarnya, Raisa. Saat itu Randai sudah bekerja di sebuah perusahaan penerbangan dengan posisi dan penghasilan yang cukup besar. Kebiasaan mereka yang selalu bersaing dan menantang satu sama lain membuat Alif merasa semakin rendah diri terlebih Randai saat itu sedang bersama Raisa, yang dulu ditaksir oleh Alif sejak lama namun kemudian ditikung oleh Randai di belokan terakhir. 2-0 untuk Randai.

Namun seperti kata pepatah, “selalu ada pelangi sehabis hujan”, Alif akhirnya mendapat surat balasan yang bunyinya berbeda dengan surat-surat lainnya. Dia diterima bekerja sebagai reporter di Derap, sebuah perusahaan majalah berita nasional terkemuka yang diberedel semasa Orde Baru. Bergelar doktor, mondok di kantor, Alif belajar banyak hal di Derap. Dia belajar integritas dan seni dalam menyampaikan berita dengan berani, jujur dan bermartabat. Segera Alif menjadi seorang jurnalis yang hebat dan tulisannya berjudul “ Wawancara Pocong” merupakan prestasi terbaiknya selama di Derap. Tapi bukan Alif namanya jika ia puas dengan pencapaiannya saat ini. Dia bercita-cita untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2 di Amerika Serikat. Dia pun dengan giat mempersiapkan diri dengan belajar TOEFL dan GRE yang dibantu oleh Dinara, rekan kerja Alif yang sejak pertemuan pertama telah membuat Alif jatuh hati. Tak ada usaha yang sia-sia, Alif pun diterima sebagai penerima beasiswa fullbright di George Washington University, Amerika Serikat. 

Terpisah jarak dan waktu antara Washington DC dan Jakarta, Alif dan Dinara tetap berusaha untuk saling berkomunikasi baik melalui email, telepon maupun chatting via telnet.  Tak pernah secara resmi berpacaran, Alif akhirnya memutuskan untuk menikahi Dinara dan memboyongnya ke Amerika Serikat. Sama seperti keluarga muda lainnya, Alif dan Dinara juga mengalami masa susah senangnya mengarungi bahtera rumah tangga di negeri orang mulai dari harus bekerja paruh waktu sambil kuliah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari,  pertengkaran yang diakibatkan oleh kesalahpahaman, hingga kegemaran mereka untuk menjajal negeri Paman Sam sejauh mata memandang. Bagai mengulang kisah mereka ketika masih di Indonesia dulu, Alif dan Dinara kembali menjadi reporter sekaligus rekan kerja di American Broadcasting Network (ABN). Kinerja mereka yang luar biasa dan kebiasaan mereka untuk “beraksi” berdua membuat mereka mendapat julukan Dynamic Duo dari Tom, sang ketua tim. 

Indahnya kehidupan mereka selama di Washington mendadak porak-poranda ketika tragedi 11 September 2001 terjadi.  Alif harus kehilangan Mas Garuda, seorang saudara senegara sekaligus kakak terbaik yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Lelah menanti kabar dan mencari Mas Garuda selama berbulan-bulan,  Alif terpaksa harus merelakan kepergian orang yang ia kasihi  meski masih menyimpan harapan bahwa Mas Garuda selamat dari tragedi yang menewaskan ribuan orang dan menggemparkan dunia tersebut. 

Luka masih membekas di hati para keluarga dan korban selamat,  namun bumi terus berputar dan hidup harus terus dijalani. Setelah 5 tahun di Amerika Serikat menimba ilmu dan mencapai berbagai kesuksesan, Alif dan Dinara akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air untuk selamanya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan segala kenyamanan yang mereka miliki selama di negeri Paman Sam dan kembali ke Indonesia untuk mengabdi pada ibu pertiwi. 

Seakan ingin menyampaikan pesan bagi setiap pembaca untuk tidak pernah berhenti bermimpi setinggi langit dan berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut, novel yang diadaptasi dari kisah nyata pengalaman Ahmad Fuadi ini membuktikan bahwa ketika seseorang berusaha sekaligus berserah kepada Sang Pencipta, maka tak ada jalan yang tak terbuka. Alif membuktikan bahwa seorang anak kampung pun dapat berjaya di panggung dunia dan menunjukkan eksistensinya sebagai seorang penulis dan jurnalis di tingkat internasional. Namun kilau kesuksesan di negeri orang tidak menjadikan Alif dan Dinara terlena dan enggan kembali ke tanah air. Mereka menunjukkan bahwa tak peduli seberapa indahnya kehidupan di negeri orang, ibu pertiwi akan selalu menjadi tempat mereka berpulang. Sudah seharusnya pengalaman dan ilmu yang mereka timba selama di luar negri digunakan untuk membangun bangsa. Karena bagi mereka, muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan.

Tuesday, September 13, 2016

M.A.T.I

September 13, 2016 0 Comments
Banyak kejadian belakangan ini yang membuatku terus berpikir tentang hidup dan mati, berapa lama seseorang diberi free-access atas dunia dan kehidupan, apa yang dialami seseorang ketika sekarat dan apa yang dirasakan oleh keluarga dan orang-orang terdekat ketika menyadari bahwa hanya waktu yang tau kapan seseorang yang mereka cintai itu akan pergi meninggalkan mereka.

Selama sebulan lebih ber-“mukim” di rumah sakit, merawat dan menunggui adikku Bungsu dalam 2 kali operasi terakhir, seminggu menginap di lantai lorong ICU yang dingin dan basah, aku diberi kesempatan untuk merasakan, mengalami dan melihat sendiri betapa hidup ini bukanlah milik kita seutuhnya. Perasaan hati diaduk-aduk tak menentu, setiap perkembangan adikku dan pasien-pasien di sekitar memberi sensasi roller-coaster yang sungguh melelahkan. 

Setiap waktu bagaikan tawar menawar dengan Tuhan agar tidak mengambil orang yang kusayangi sekarang. Jangan sekarang. Jangan besok. Jangan dalam waktu dekat. Untuk pertama kalinya aku merasakan paksaan untuk merelakan segalanya untuk orang lain selain diriku. Oh, begini ternyata rasanya jadi orang tua. Bersiap melakukan apapun ASAL jangan ambil milikku. Yap...menawar dan bertaruh. Entah dengan siapa. Dengan nasibkah?  Dengan Tuhan-kah? Aku tak tau. Aku bahkan tidak tau apakah kita bisa tawar-menawar dengan Tuhan, setauku manusia hanya bisa memohon dan meminta dari Sang Empunya kehidupan.

Bungsu dirawat di ruang ICU selama 1 minggu dan tak terhitung berapa banyak doa yang telah aku dan keluargaku panjatkan di sisi ranjang yang dikelilingi berbagai alat-alat penunjang hidup itu. Aku berani bertaruh bahwa lebih banyak doa yang terucap di ruangan kecil yang terus berdenyut oleh elektrokardiogram (EKG) yang masing-masingnya memiliki bunyi dan nada yang berbeda itu dibanding di rumah ibadah manapun. Entah sudah berapa pasien yang keluar dari ruangan dingin tersebut dengan badan dingin, kaku , tak bernyawa dan berapa orang yang telah “naik kelas” ke ruang perawatan biasa. Yang kutau, selama di sana tak kurang dari 10 orang telah dipanggil ke sisi Bapa dan 4 di antaranya pergi pada hari yang sama. 

Aku tak tau apakah harus bersyukur atau menyesali “privilege” yang kudapatkan dengan melihat langsung drama yang terjadi ketika seluruh keluarga berkumpul mengelilingi seorang pasien yang sedang meregang nyawa dan akhirnya menyerah atas ketidakberdayaannya atas hidupnya sendiri dan akhirnya dinyatakan meninggal. Pemandangan memilukan itu tidak hanya membuat para keluarga menangis dan meraung-meraung karena tak rela melepas orang yang mereka cintai, tapi juga membuat kami para keluarga lain menitikkan air mata sekaligus ketakutan. Akankah kami merasakan hal yang sama setelah ini? Pasien di ranjang mana selanjutnya yang akan di "panggil"? 

Pernah suatu kali aku melihat detik-detik ketika seorang ibu muda berusia 32 tahun berjuang antara hidup dan mati. Dia masuk ke ruang ICU pada malam sebelumnya dalam keadaan koma karena tekanan darah tinggi. Karena ruang ICU tidak dapat dimasuki keluarga di luar jam besuk, mereka semalaman menungguinya di lorong luar ICU, tak terkecuali suami dan anak semata wayangnya yang masih balita. 
Mereka menunggu tapi ajal tidak. 

Sekitar pukul 20.00 WIB ketika sedang jam besuk dan keluarganya berkumpul di sekeliling ranjang, mereka menyaksikan bagaimana perawat berjuang memberi oksigen dan berbagai alat bantu lainnya ketika keadaannya sekarat. Suaminya meraung-raung sambil memeluk tubuhnya yang kaku, ibunya menangis memanggil nama anaknya dan terus menyebut nama Tuhan, para keluarga mengeluh dan mengaduh atas ketakutan mereka ditinggalkan oleh saudari mereka terkasih. Sampai akhirnya garis-garis lengkung pada EKG berubah menjadi lurus dan bunyinya pun menjadi datar, semua serentak menangis dan berteriak, “He So’aya,hakhosi todo ndra’aga, boi halo, So’aya. Fangawuli”. Kasihanilah kami Tuhan, jangan ambil. Kembalikan dia. Sungguh ketika alat yang diciptakan manusia itu menyatakan bahwa jantung si ibu muda tersebut  telah berhenti berdetak, mereka masih terus bermohon agar Tuhan mau mengembalikan si ibu muda tersebut kepada mereka. 
Menawar takdir. 

Tak lama kemudian seorang dokter jaga datang, melakukan hal-hal yang aku tak tau apa itu dan kemudian memberi isyarat kepada para perawat.  Seperti mengerti bahasa isyarat, para perawat pun mulai melepas semua selang dan alat-alat yang menempel di tubuh ibu muda tersebut dalam diam.  Tak peduli seberapa kerasnya keluarga memohon agar alat tersebut tetap terpasang, kalau-kalau si ibu tersebut akan bangun lagi. 

Seketika itu juga aku seperti bisa merasakan pilu yang dirasakan oleh suami dan keluarga si ibu tersebut. Terlebih lagi melihat anak balitanya yang kebingungan melihat ibunya hanya tidur sementara semua orang di sekitarnya menangis meraung-raung.Entah kenapa berbagai macam kemungkinan berkelebat di benakku mengingat anak malang tersebut.

Aku berdiri  menghalangi pandangan Bungsu agar dia tak bisa melihat kejadian tersebut. Aku tidak ingin dia merasa takut atau sedikitpun berpikir bahwa nasibnya akan sama dengan si ibu muda. 

Aku ngeri dengan betapa tak berdayanya manusia atas hidupnya sendiri. Bahkan untuk mengklaim tubuh sendiri pun kita tidak mampu. Aku tersadar akan kefanaan dunia dan hidup. Betapa kita begitu terhanyut dengan ide memiliki dan dimiliki. Kelak semua akan kita tinggalkan ketika kita MATI. Kita akan pergi tanpa membawa apapun dan yang tersisa hanyalah duka bagi orang-orang yang merasa memiliki.