Showing posts with label Nias Island. Show all posts
Showing posts with label Nias Island. Show all posts

Wednesday, October 3, 2018

My Heart Goes To Palu

October 03, 2018 0 Comments
Jumat, 28 September 2018. TGIF. Hari kebebasan, kata orang kantoran. Setelah 5 hari jadi budak korporat, lagi-lagi kata orang kantoran (word, sorry), akhirnya weekend datang juga. Tapi ya sebahagia apapun kamu, ga ada bedanya dengan Jumat lalu dan Jumat yang akan datang. Orang-orang akan berjibaku berhari-hari hanya untuk kemudian sama-sama bersorak TGIF lagi.

Tapi Jumat ini beda. Setidaknya untuk orang-orang yang saat itu sedang asik nonton tv di rumah dengan keluarganya dan 5 menit kemudian semua berubah. Rumahnya mendadak rata dengan tanah, keluarganya tercerai-berai dibawa gelombang ombak yang tanpa diundang bertamu ke daratan dan sejak saat itu hidupnya takkan pernah sama.

Jumat, 28 September 2018 sore, gempa dan tsunami menghantam Donggala, Palu.

Pagi ini aku mendapat email masuk dari sebuah NGO. Disitu dikatakan bahwa korban jiwa sudah mencapai 1.203 jiwa dan ada kemungkinan jumlahnya akan terus bertambah. Tiap kali nyalain tv, semua channel memberitakan tentang kondisi terbaru di tenda pengungsian, rumah sakit, rumah ibadah, bandara, proses evakuasi korban meninggal dan luka-luka. Kok rasanya hancur banget ya liat penderitaan mereka. Setiap ada pemberitaan tentang Donggala, aku pasti selalu tanpa sadar udah nangis sedih aja sambil dalam hati ngomong, "makasih, Tuhan".

Palu. Sumber: https://www.liputan6.com/news/read/3656762/2-figur-heroik-di-balik-gempa-tsunami-palu-dan-donggala
Hah?kok makasih?
I'll tell you later.

Ada satu lagi yang bikin hati rasanya teriris. Kisah tentang Antonius Gunawan, seorang air traffic controller AirNav Indonesia, yang mengorbankan dirinya untuk memastikan pesawat Batik Air yang dipandunya dapat lepas landas dengan selamat (baca disini). Dia memilih tetap di menara meskipun saat itu sedang terjadi gempa dan akhirnya wafat dalam tugas. Hal pertama yang terlintas di pikiranku saat membaca tentang beritanya adalah "bagaimana dengan mamanya? betapa hancurnya hati mamanya ditinggal oleh anaknya yang luar biasa mulianya ini". Tapi yah, semua orang di dunia ini punya misi dan panggilan masing-masing dan Antonius Gunawan telah berhasil menyelesaikannya. Hidupnya telah menjadi berkat bagi ratusan bahkan ribuan orang.

Tenang bersama Bapa, dear Antonius Gunawan. Kau akan selalu dikenang dan kasihmu kepada sesama akan menjadi teladan.

Sumber: https://kalteng.antaranews.com/berita/288159/jenazah-petugas-atc-antonius-gunawan-disemayamkan-di-makassar
Akhir-akhir ini Indonesia sering sekali dilanda bencana alam. Kejadian terakhir sebelum ini adalah gempa di Lombok. Belum sembuh luka karena bencana di Lombok, terjadi lagi gempa dan tsunami di Palu. I can always relate to these stories. Mungkin karena itulah aku selalu emosional tiap membaca, menonton dan mendengar berita tentang gempa Palu ini.

28 Maret 2005 malam sekitar pukul 22.30 WIB, gempa berkekuatan 8,7 SR mengguncang Pulau Nias. Tanah kelahiranku, tanahku dibesarkan. Saat itu aku masih berumur 12 tahun dan duduk di kelas 1 SMP. Aku masih benar-benar ingat setiap hal yang kualami ketika gempa itu terjadi. Bagaimana kami sekeluarga terpisah-pisah, adik-adikku yang terkunci di kamar dan pasrah tak bisa keluar karna tempat tidur yang bergeser-geser, bapak dan adikku yang bersembunyi di tempat tidur agak tidak tertimpa lemari. Malam itu, seluruh warga berlari menuju gunung dan kami melihat bagaimana api menjalar dan membakar kota. Kami juga mendengar beberapa kali ledakan. Malam itu, semua tampak begitu gelap tapi juga terang benderang.

sumber: https://www.kompasiana.com/java05_gheeyahoo.com/552adbf2f17e61d04bd623a9/tsunami-kedua-menghempas-nias
Aku bersyukur kepada Tuhan atas segala kasihnya kepadaku dan keluarga. Bahkan di saat gempa dan tidur di biara suster selama hampir seminggu, tidur di halaman tetangga 2 minggu, tidur di tenda depan rumah selama 3 bulan, kami masih diberi kesempatan untuk menikmati berkat-Nya hingga saat ini. Kami beruntung, rumah kami tidak rusak parah seperti orang lain, tapi kami memilih untuk tetap di tenda karena trauma akan gempa susulan dan isu tsunami yang membuat kami beberapa kali berlari ke gunung tiap ada gempa susulan.

Sekarang tau kan kenapa aku malah bilang "makasih, Tuhan"?

Life goes on. Sudah 13 tahun berlalu sejak kejadian di malam itu. Kota kami sudah lama pulih kembali, hidup kami pun sudah lama tertata kembali. Tapi ternyata kenangan akan kejadian itu akan tetap utuh di ingatan kami. Setiap tahun masyarakat di Pulau Nias memperingati terjadinya gempa Nias. Setiap orang dengan segala kisahnya, setiap orang dengan kisah kehilangannya dan setiap orang dengan puji syukurnya.

Lagi-lagi, aku beruntung. Tuhan baik padaku. Gempa tak mengambil apapun dariku, justru memberiku sesuatu, pengalaman dan hati yang penuh terimakasih kepada-Nya. Aku pikir, setelah 13 tahun berlalu, aku akan melupakan kejadian malam itu. Ternyata belum dan sepertinya tidak akan pernah. Aku masih selalu menitikkan air mata melihat mereka yang mengalami penderitaan dan ketakutan kami dulu.

Saudara, aku tau kesakitan yang kau rasakan saat ini. Kata-kata penyemangat memang tak ada gunanya saat ini, tapi bersabarlah saja, ini pasti akan berlalu. Tanganku tak dapat meraihmu tapi aku tau doaku bisa.

My heart goes to Palu.
Dian ♥




Thursday, March 29, 2018

Solideo - Singing Out of Love

March 29, 2018 0 Comments
I remember back to the day when I received my first work placement letter. I got KPPN Gunungsitoli, which meant Nias Island, my hometown. Instead of being super happy, I cried. I wasn't ready to give up my social life in the big city. I was afraid of being not able to fit in with new society and their whatsoever standards.

But turned out, being in a "new" place wasn't that bad after all. I made friends with new and old friends here. And the ones that I am so grateful for are my fellows in my church choir, Solideo. I've been in this choral group for 2 years now and I should say that this group is my sweet escape from work hustle and bustle. It helps me staying sane and balancing work and social life.

Vivi's wedding day. Went all the way to Lahewa only to sing on her special day
Focus, please😜
With The Bishop, Father Ludovicus Simanullang, OFMCap
Kak Imel's Wedding. We tried so hard to not cry while singing
I joined this group was not necessarily cause I'm good at singing and I have good voice. It was merely cause I loved singing but not confident enough to sing solo. So being in a choir is always something I opt for. I've been always a choir member since I was in Junior High School. The only time when I was not one was when I was in college. I private tutored Elementary to High School students back then, thus I didn't have any spare time for another extracurricular.

Not really good at singing, let alone reading notes, so it's pretty safe for me to say that I sing out of love 💛
Not only do we sing, but also we have fun together 😎
I've seen more things done by love within these 2 years. Some friends of mine are members of two choirs at the same time. They have to juggle with family, work and schedules and often I find them looking so tired especially during Christmas and Easter. Yet they do it anyway cause they love it. When I asked them, "Aren't you guys too tired being in 2 choirs? Why not just drop one and focus on the other one?". They just said, "No, cause it's fun and we enjoy it".

Some of my choir friends are school and college students. Instead of setting aside some of their time rehearsing, they could just hang out with their friends, or study or private tutor for money just like how I did when I was in college. But no, they choose to invest their time doing what they love doing.

Other ones amuse me even more. They are moms and dads who are undoubtedly have enough things to take care of in their houses, yet they still give time to sing their heart out with us. And surprisingly, they are more punctual than some of us who are still single (especially me). So, besides being friends, they are also role models for me that age, family and marriage is not an obstacle for you to self develop and do what you love doing. And of course, to appreciate time more. 

I'm gonna end this story with a literally real love story and in order to make it even more real, I'm gonna tell it in Bahasa. This was a conversation my choir friends had last week, before Palm Sunday Mass.

Bang Roy: "Eh, Mak Jos. Kata Bang Pasaribu, dia kagumlah sama kau dan suamimu, Pak Jos. Masih setia mendampingi dan membimbing paduan suara Solideo ini"

Mak Jos: "Gimana ya, Bang. Kalo kami berhenti, aku dan Pak Jos jadi ingat, kalo kami dulu jumpa di paduan suara ini. Makanya sedih kalo sampai berhenti"

We wouldn't meet and fall in love at each other if it's not because of this choir. So, it would be so sad if we give up on this.  -Mak Jos-
Mak Jos and Pak Jos. Aren't they the sweteeeesstt? Marriage goal💖💖💖

I was there hearing that conversation and automatically exclaimed "Oooohh..so sweet". My reaction may seem spontaneous but the impression that I got was deep. I wouldn't bother writing this post if I was not touched by that answer. I mean, if you can't see love in that answer, I don't know what else can you see?


Thursday, November 23, 2017

Greetings from The "Dead Sea"

November 23, 2017 2 Comments
 If you hear about Nias Island, what comes to your mind first? 

I bet you’ll say surfing in Sorake and stone jumping in Bawomataluo. Well, let me tell you something. We are so much more than that, we have many more things in our pocket to amaze you. We have caves, megaliths, waterfalls and, of course, beaches. I myself am not as lucky as my friends who get the opportunity to explore every inches of this island and since the beaches are the easiest spots to access, that’s where I always go most of the times.
The seashore




This beach I’m going to tell you had given me the experience of snorkeling again. But we didn’t snorkel like the pros do, we didn’t have any snorkeling equipment either. Goggles only, thus we only snorkeled at the shallow parts of the sea. But the water was so crystal clear, we could see fishes and all underwater creatures even before dipping ourselves into the water.
Photos were taken with DSLR. So bad that we didn't have any camera for underwater purpose
The unique thing about this spot is that  it has a shoal in the middle of the sea. The seashore itself is only reefs and water, no sand. So if the purpose of coming here is to build sand castles and sunbathe, you have to get on a boat to reach the shoal. It was my first time visiting this place, and I was amazed by how many colourful fishes I saw (though it was not as many as fishes we could see if we snorkel in the deep water). Our boatman said that the number and variety of the fishes had dwindled due to the fish catching by fishermen and tourist.
So sad 😭

It took around 10 minutes by boat from the sea shore to the shoal in the middle of the sea
The shoal
Boat fare was only Rp 10.000,- , too cheeeaaappppp

By the way, Tureloto is also known for its high salinity, no wonder the water tasted so salty and felt so drying on the skin. A travel web even refered this beach as the Dead Sea Of Indonesia (read: 5 Fakta Cantik Soal Pantai Tureloto, Laut Mati di Indonesia).
So, greetings from the "Dead Sea", everyone 😎😘

Saturday, October 28, 2017

To Pink Beach Off We Go!!!

October 28, 2017 0 Comments
This Thursday, my office mates and I got an assignment to do a work visitation to North Nias. We were done with the work thingy a little sooner than expected. So we decided to drive back to Gunungsitoli right away, as usual, till one of us came up with a name of place we rarely heard about. 

Considering that we still had plenty of time to reach downtown and the curiosity had already kicked in, so PINK BEACH it is!!!

Still in my work apparel along with ID and high heels 👢👢👚










Pink Beach is only 20 minutes drive from Lahewa, the capital city of North Nias, 2 hours drive from Gunungsitoli. All along the way, we were spoiled with such beautiful scenery of the village, tiny houses, plantation, and smooth winding road.

Touching the sand was the best feeling ever. The particle of the sand is slightly smaller and subtler than the sand of other beaches
By the way, this beach is named Pink Beach for the colour of the sand. Some say that it gets more pinkish in the afternoon. It was around 3 pm when we got there and in my opinion, the sand was rather orange with a little hint of pink colour. Everything was vivid and contrast. The orangey pinky sand, blue water and sky, purple flowers and green coconut plantation. So technicolor!!!

Everything was so vibrant except our clothes 😎


No need to explain the beauty of this place anymore, it was breathtaking and jaw dropping. I'm not exaggerating. I think this place is a little underrated among other beaches in Nias Island. But that's what makes it even more special. Tranquil and deserted.

Nowadays, when everything is so overated, every places are so packed, everyday is all hustle and bustle. There will be times when we feel insignificant and can't keep up with life. A place like this is all we need.

Lots of love,
Dian💕

Tuesday, May 30, 2017

Itinerary untuk 2 Hari 1 Malam di Teluk Dalam (Girls and Budget Friendly)

May 30, 2017 0 Comments
Seperti yang aku ceritain di postingan aku sebelumnya (baca: Kaki Kami Panjang, Katanya!), aku, Peggy dan Raisa baru aja jalan-jalan seru ke Teluk Dalam, girls only👩👯👢!!!
Buat yang penasaran kami kemana aja, penginapan, transportasi dan budgetnya, berikut infonya!

Day 1
Kami berangkat dari Gunungsitoli pukul 09.00 WIB dengan menumpang travel trayek Gunungsitoli-Teluk Dalam. Ongkos per orangnya Rp 70.000,- dan waktu tempuhnya sekitar 2,5 jam.

Begitu sampai di pasar Teluk Dalam, kami makan siang dan kemudian merental 2 motor bebek di Toko Roti Helena, biayanya Rp 120.000,-/motor/24 jam. Kami masih perlu merental motor untuk memudahkan pergerakan dan karena jarak antara pasar Teluk Dalam dan tempat kami menginap di Sorake masih sekitar 12 km lagi. 

Kami check in di Hotel Barriga Feliz sekitar pukul 15.00 WIB dan memesan 1 kamar untuk kami bertiga. Sewa kamar kami pada saat itu Rp 450.000,-/malam dengan fasilitas, 3 ranjang, ac, kipas angin, tv dan kamar mandi dalem.

Setelah check in dan unpack barang-barang, kami langsung motoran ke Pantai Lagundri (Harus Damai). Kami memilih buat mainnya ke pantai ini karena pantainya luas dan lebih friendly buat pengunjung yang sekedar mau main-main di pantai dan belajar surfing (baca juga: Surfing for First Timers and Where to Stay in Nias Island)

Malemnya kami makan di hotel dan memesan makanan dengan harga Rp 80.000,- untuk 3 orang. Makanannya lumayan enaklah, berasa masakan rumah.

Day 2
Paginya kami nyantai-nyantai dulu di terasnya kamar hotel. Terasnya langsung ngadep taman dan laut. Cantik...😘😚 

Setelah mataharinya udah agak naik, kami motoran trus mendaki ke Desa Hiliamaeta. Sambil motoran, kita liat pemandangan yang cantik banget, pantai, pohon-pohon kelapa, jalanan yang sepi, rumah-rumah kecil yang tersusun rapi dan angin semilir. Syahdu bangeeeettt 🏖🌴🌴!!!
Pemandangan dari halaman Desa Hiliamaeta. Langsung ngadep ke laut loohh...
Halaman Desa Hiliamaeta, rumah adat berjejer rapi dari ujung ke ujung.
Menjelang makan siang kami kembali ke hotel, packing trus foto-foto dulu di taman hotel. Pemandangan di hotel tuh terlalu cantik untuk dilewatkan haha...
Pukul 14.00 WIB kami check out, balikin motor, trus naik travel lagi ke Gunungsitoli.. 

Rincian biaya di atas bisa nambah bisa berkurang juga yaa..tergantung kebutuhan. Aku share pengalaman aja dan mudah-mudahan membantu.

Cheers,
Dian

Monday, May 22, 2017

Kaki Kami Panjang, Katanya!

May 22, 2017 0 Comments
Beberapa hari yang lalu seorang teman a.k.a salah satu bendahara satuan kerja di wilayah kantorku datang. Saat itu aku dan Peggy, teman sekantorku, sedang berada di front office ketika si bendahara mendadak nyeletuk, “Iiih...aku barusan kepo facebook kalian. Kalian cewek tapi kaki kalian panjang yaa..”. Aku dan Peggy sempat berpandang-pandangan ga ngerti maksud si bendahara sampai akhirnya dia nyeletuk lagi, “Itu loohh...foto kalian bertiga jalan-jalan ke Teluk Dalam”.  Sontak kami tertawa terbahak-bahak setelah paham maksudnya si bendahara apa. 

Jadii...April lalu aku, Peggy dan Raisa memutuskan untuk ber-weekend di luar kota Gunungsitoli, saat itu kita bener-bener lagi jenuh banget dengan kerjaan dan butuh refreshing. Disini tuh ga ada bioskop dan mall seperti di kota-kota besar. Adanya karaoke ala-ala yang begitu kita masuk kesana, luntur sudah segala image dan nama baik yang telah dibangun selama ini wkwkwk... Kami pun sepakat untuk piknik ke Teluk Dalam (lagi) selama 2 hari 1 malam, girls only!

(from left to right) Peggy-Me-Raisa
Untuk itinerary, transport dan penginapannya aku ceritain disini yaaa..
Seperti kata orang-orang, “there’s always the first time for everything”,  dan setiap pengalaman pertama itu biasanya memberi kesan tersendiri. Maka demikianlah perjalanan kami kali ini. Ini memang bukan pertama kalinya kami ke Teluk Dalam.  Ini juga bukan pertama kalinya kami piknik ke tempat yang cukup jauh hingga ke luar pulau. Tapi yang membuat trip kali ini berkesan adalah baru kali ini kami jalan (walaupun ga jauh-jauh banget) ngeteng pake transportasi umum trus eksplor kampung dan pantai pake motor, trus leyeh-leyeh di hotel tanpa “perlindungan” cowok. Cewek-cewek doang. No man, no guide at all. Bener-bener berasa kayak petualang-petualang cantik atau anak motor (atau emak-emak naik matic).

Di taman hotel Bariga Feliz
Selain bisa rilex sejenak setelah liat yang ijo-ijo, biru-biru dan babang bule, ada perasaan puas yang terselip. Puas karena ternyata ada hal-hal yang tidak terpikirkan bisa kami lakukan sebelumnya, ternyata berhasil kami lakukan dan kami menikmatinya. Sebelumnya aku ga pernah mikir akan berani motoran di jalanan Teluk Dalam karena jarak antara kota dan hotel yang cukup jauh dan kebiasaan orang-orang disana yang suka ngebut, tapi ternyata aku bisa juga memberanikan diri buat motoran sendiri. Dan ternyata asik bangeeettt... Sore-sore motoran di jalanan yang sepi sambil nyusurin pantai diiringin suara ombak dan gemerisik daun kelapa. Rumah yang berjejer di pinggir jalan juga sederhana tapi cantik. Tiap ada spot yang oke, kami berhenti buat sekedar melihat-melihat pemandangan atau nonton orang-orang lagi surfing. Ooohh.. I love living a slow life like this.


Peggy dan Raisa juga belum pernah hiking sebelumnya. Jalan santai bareng orang-orang kantor tiap Jumat pagi aja hampir bikin Raisa pingsan dan Peggy, walaupun masih bisa keep-up, tetep aja suka pegel-pegel setelahnya. Tapi ternyata mereka bisa juga menaklukkan terjalnya bukit di Hiliamaeta yang kemiringannya hampir 45 derajat itu. Aku sendiri tidak terlalu kesulitan mendaki bukit ini karena sudah terbiasa kesini sejak kecil. Meskipun harus berhenti berulang-ulang kali, wajah mereka sampe pucat pasi karena lelah dan haus, tapi akhirnya mereka sampai juga ke puncak dan justru paling getol foto-foto di tengah desa. Perjalanan turun juga perjuangan banget karena kaki kami harus kuat menahan berat badan kami (iyaaa...kami berat!).  Tapi begitu sudah sampai di kaki bukit, mereka dengan puas ngomong gini, “Gila, bisa juga ya kami mendaki kampungmu, Cen. Untung kami ga pingsan”. Walaupun sebenarnya mereka jera juga diajak mendaki bukit lagi wkwk..


Fyi, kampung asli keluarga mamaku adalah Hiliamaeta. Kakek, nenek, paman dan keluarga besarku masing tinggal di desa ini. Desa Hiliamaeta ini berjarak sekitar 1 km dari Pantai Sorake dan Pantai Lagundri yang terkenal dengan ombaknya yang diidolakan para peselancar itu. Sama seperti Bawomataluo dan desa-desa lain di Teluk Dalam, desa kami ini terletak di atas bukit, makanya namanya hili =bukit. Di tengah-tengah desa, ada sebuah halaman yang berlantaikan batu dan semua rumah adat berjejer dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah halaman tersebut ada rumah adat besar dan batu setinggi 2,1 meter yang terkenal dengan atraksi Lompat Batu. Untuk masuk ke desa ini ada 2 jalur, jalur yang bisa pake motor dan jalur buat pejalan kaki aja.
The struggle 😫😫

Salah satu dari 2 patung naga yang terdapat di tangga teratas menuju halaman desa.


Peggy di halaman desa Hiliamaeta
Aku sih taunya jalur buat pejalan kaki doang. Disitu kami harus mendaki bukit dulu sekitar 30 menit (kalo orang lokal paling lama 10 menit), jalannya ga jauh sih...tapi curam banget, hampir 45 derajat. Kemudian kita naik tangga yang cukup banyak dan juga curam. Di sepanjang tangga ada rumah warga dan beberapa gereja. Jadi jangan heran kalo sambil mendaki, banyak mata yang memperhatikan dan bahkan mereka tidak segan-segan menyapa. Karena setiap orang di desa ini saling kenal dan mereka tau ketika ada orang asing dan pengunjung yang masuk ke desa mereka.

We stayed here at Barriga Feliz Surf Camp, Sorake
Sekembalinya dari short gateaway kami, aku jadi sadar bahwa terkadang kita tidak tau sejauh apa kemampuan kita hingga suatu saat kita dipaksa untuk melakukannya. Kita perlu sesekali menantang diri dan mencoba hal baru untuk dapat menemukan diri sendiri. Tantangannya ga harus berjalan di atas bara api atau berenang di laut penuh hiu kok, cukup hal-hal sederhana yang selama ini ga pernah kita lakuin entah karena ga berani, males ataupun karena ga kepikiran. 

Selain itu, keluar dari rutinitas sehari-hari itu juga penting untuk menjaga keseimbangan jiwa. Memaksakan diri untuk tetap produktif disaat otak sudah mentok dan jenuh juga sama aja bohong, yang ada malah jadi bad mood, males-malesan yang akhirnya mempengaruhi kinerja dan hubungan baik kita dengan rekan kerja.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah sesekali mencoba untuk slow down dalam hidup memberi kesempatan bagi kita untuk menghitung berkat dan kemudian bersyukur akan setiap hal yang diberikan secara cuma-cuma bagi kita oleh Sang Empunya kehidupan.

One of our favourite spots at the hotel. A hut at the corner of the garden, overlooking the sea 😍🏩
Untuk hari-hari selanjutnya, selagi aku masih bisa, aku akan mencoba menerapkan ini:

Challenge myself

Embrace every moment

Live my life to the fullest

and (try to) Be gratefull all the time

Semoga 🙂