Tuesday, September 13, 2016

# Death # Family

M.A.T.I

Banyak kejadian belakangan ini yang membuatku terus berpikir tentang hidup dan mati, berapa lama seseorang diberi free-access atas dunia dan kehidupan, apa yang dialami seseorang ketika sekarat dan apa yang dirasakan oleh keluarga dan orang-orang terdekat ketika menyadari bahwa hanya waktu yang tau kapan seseorang yang mereka cintai itu akan pergi meninggalkan mereka.

Selama sebulan lebih ber-“mukim” di rumah sakit, merawat dan menunggui adikku Bungsu dalam 2 kali operasi terakhir, seminggu menginap di lantai lorong ICU yang dingin dan basah, aku diberi kesempatan untuk merasakan, mengalami dan melihat sendiri betapa hidup ini bukanlah milik kita seutuhnya. Perasaan hati diaduk-aduk tak menentu, setiap perkembangan adikku dan pasien-pasien di sekitar memberi sensasi roller-coaster yang sungguh melelahkan. 

Setiap waktu bagaikan tawar menawar dengan Tuhan agar tidak mengambil orang yang kusayangi sekarang. Jangan sekarang. Jangan besok. Jangan dalam waktu dekat. Untuk pertama kalinya aku merasakan paksaan untuk merelakan segalanya untuk orang lain selain diriku. Oh, begini ternyata rasanya jadi orang tua. Bersiap melakukan apapun ASAL jangan ambil milikku. Yap...menawar dan bertaruh. Entah dengan siapa. Dengan nasibkah?  Dengan Tuhan-kah? Aku tak tau. Aku bahkan tidak tau apakah kita bisa tawar-menawar dengan Tuhan, setauku manusia hanya bisa memohon dan meminta dari Sang Empunya kehidupan.

Bungsu dirawat di ruang ICU selama 1 minggu dan tak terhitung berapa banyak doa yang telah aku dan keluargaku panjatkan di sisi ranjang yang dikelilingi berbagai alat-alat penunjang hidup itu. Aku berani bertaruh bahwa lebih banyak doa yang terucap di ruangan kecil yang terus berdenyut oleh elektrokardiogram (EKG) yang masing-masingnya memiliki bunyi dan nada yang berbeda itu dibanding di rumah ibadah manapun. Entah sudah berapa pasien yang keluar dari ruangan dingin tersebut dengan badan dingin, kaku , tak bernyawa dan berapa orang yang telah “naik kelas” ke ruang perawatan biasa. Yang kutau, selama di sana tak kurang dari 10 orang telah dipanggil ke sisi Bapa dan 4 di antaranya pergi pada hari yang sama. 

Aku tak tau apakah harus bersyukur atau menyesali “privilege” yang kudapatkan dengan melihat langsung drama yang terjadi ketika seluruh keluarga berkumpul mengelilingi seorang pasien yang sedang meregang nyawa dan akhirnya menyerah atas ketidakberdayaannya atas hidupnya sendiri dan akhirnya dinyatakan meninggal. Pemandangan memilukan itu tidak hanya membuat para keluarga menangis dan meraung-meraung karena tak rela melepas orang yang mereka cintai, tapi juga membuat kami para keluarga lain menitikkan air mata sekaligus ketakutan. Akankah kami merasakan hal yang sama setelah ini? Pasien di ranjang mana selanjutnya yang akan di "panggil"? 

Pernah suatu kali aku melihat detik-detik ketika seorang ibu muda berusia 32 tahun berjuang antara hidup dan mati. Dia masuk ke ruang ICU pada malam sebelumnya dalam keadaan koma karena tekanan darah tinggi. Karena ruang ICU tidak dapat dimasuki keluarga di luar jam besuk, mereka semalaman menungguinya di lorong luar ICU, tak terkecuali suami dan anak semata wayangnya yang masih balita. 
Mereka menunggu tapi ajal tidak. 

Sekitar pukul 20.00 WIB ketika sedang jam besuk dan keluarganya berkumpul di sekeliling ranjang, mereka menyaksikan bagaimana perawat berjuang memberi oksigen dan berbagai alat bantu lainnya ketika keadaannya sekarat. Suaminya meraung-raung sambil memeluk tubuhnya yang kaku, ibunya menangis memanggil nama anaknya dan terus menyebut nama Tuhan, para keluarga mengeluh dan mengaduh atas ketakutan mereka ditinggalkan oleh saudari mereka terkasih. Sampai akhirnya garis-garis lengkung pada EKG berubah menjadi lurus dan bunyinya pun menjadi datar, semua serentak menangis dan berteriak, “He So’aya,hakhosi todo ndra’aga, boi halo, So’aya. Fangawuli”. Kasihanilah kami Tuhan, jangan ambil. Kembalikan dia. Sungguh ketika alat yang diciptakan manusia itu menyatakan bahwa jantung si ibu muda tersebut  telah berhenti berdetak, mereka masih terus bermohon agar Tuhan mau mengembalikan si ibu muda tersebut kepada mereka. 
Menawar takdir. 

Tak lama kemudian seorang dokter jaga datang, melakukan hal-hal yang aku tak tau apa itu dan kemudian memberi isyarat kepada para perawat.  Seperti mengerti bahasa isyarat, para perawat pun mulai melepas semua selang dan alat-alat yang menempel di tubuh ibu muda tersebut dalam diam.  Tak peduli seberapa kerasnya keluarga memohon agar alat tersebut tetap terpasang, kalau-kalau si ibu tersebut akan bangun lagi. 

Seketika itu juga aku seperti bisa merasakan pilu yang dirasakan oleh suami dan keluarga si ibu tersebut. Terlebih lagi melihat anak balitanya yang kebingungan melihat ibunya hanya tidur sementara semua orang di sekitarnya menangis meraung-raung.Entah kenapa berbagai macam kemungkinan berkelebat di benakku mengingat anak malang tersebut.

Aku berdiri  menghalangi pandangan Bungsu agar dia tak bisa melihat kejadian tersebut. Aku tidak ingin dia merasa takut atau sedikitpun berpikir bahwa nasibnya akan sama dengan si ibu muda. 

Aku ngeri dengan betapa tak berdayanya manusia atas hidupnya sendiri. Bahkan untuk mengklaim tubuh sendiri pun kita tidak mampu. Aku tersadar akan kefanaan dunia dan hidup. Betapa kita begitu terhanyut dengan ide memiliki dan dimiliki. Kelak semua akan kita tinggalkan ketika kita MATI. Kita akan pergi tanpa membawa apapun dan yang tersisa hanyalah duka bagi orang-orang yang merasa memiliki.



No comments:

Post a Comment