Tuesday, May 30, 2017

Itinerary untuk 2 Hari 1 Malam di Teluk Dalam (Girls and Budget Friendly)

May 30, 2017 0 Comments
Seperti yang aku ceritain di postingan aku sebelumnya (baca: Kaki Kami Panjang, Katanya!), aku, Peggy dan Raisa baru aja jalan-jalan seru ke Teluk Dalam, girls onlyπŸ‘©πŸ‘―πŸ‘’!!!
Buat yang penasaran kami kemana aja, penginapan, transportasi dan budgetnya, berikut infonya!

Day 1
Kami berangkat dari Gunungsitoli pukul 09.00 WIB dengan menumpang travel trayek Gunungsitoli-Teluk Dalam. Ongkos per orangnya Rp 70.000,- dan waktu tempuhnya sekitar 2,5 jam.

Begitu sampai di pasar Teluk Dalam, kami makan siang dan kemudian merental 2 motor bebek di Toko Roti Helena, biayanya Rp 120.000,-/motor/24 jam. Kami masih perlu merental motor untuk memudahkan pergerakan dan karena jarak antara pasar Teluk Dalam dan tempat kami menginap di Sorake masih sekitar 12 km lagi. 

Kami check in di Hotel Barriga Feliz sekitar pukul 15.00 WIB dan memesan 1 kamar untuk kami bertiga. Sewa kamar kami pada saat itu Rp 450.000,-/malam dengan fasilitas, 3 ranjang, ac, kipas angin, tv dan kamar mandi dalem.

Setelah check in dan unpack barang-barang, kami langsung motoran ke Pantai Lagundri (Harus Damai). Kami memilih buat mainnya ke pantai ini karena pantainya luas dan lebih friendly buat pengunjung yang sekedar mau main-main di pantai dan belajar surfing (baca juga: Surfing for First Timers and Where to Stay in Nias Island)

Malemnya kami makan di hotel dan memesan makanan dengan harga Rp 80.000,- untuk 3 orang. Makanannya lumayan enaklah, berasa masakan rumah.

Day 2
Paginya kami nyantai-nyantai dulu di terasnya kamar hotel. Terasnya langsung ngadep taman dan laut. Cantik...😘😚 

Setelah mataharinya udah agak naik, kami motoran trus mendaki ke Desa Hiliamaeta. Sambil motoran, kita liat pemandangan yang cantik banget, pantai, pohon-pohon kelapa, jalanan yang sepi, rumah-rumah kecil yang tersusun rapi dan angin semilir. Syahdu bangeeeettt πŸ–πŸŒ΄πŸŒ΄!!!
Pemandangan dari halaman Desa Hiliamaeta. Langsung ngadep ke laut loohh...
Halaman Desa Hiliamaeta, rumah adat berjejer rapi dari ujung ke ujung.
Menjelang makan siang kami kembali ke hotel, packing trus foto-foto dulu di taman hotel. Pemandangan di hotel tuh terlalu cantik untuk dilewatkan haha...
Pukul 14.00 WIB kami check out, balikin motor, trus naik travel lagi ke Gunungsitoli.. 

Rincian biaya di atas bisa nambah bisa berkurang juga yaa..tergantung kebutuhan. Aku share pengalaman aja dan mudah-mudahan membantu.

Cheers,
Dian

Monday, May 22, 2017

Kaki Kami Panjang, Katanya!

May 22, 2017 0 Comments
Beberapa hari yang lalu seorang teman a.k.a salah satu bendahara satuan kerja di wilayah kantorku datang. Saat itu aku dan Peggy, teman sekantorku, sedang berada di front office ketika si bendahara mendadak nyeletuk, “Iiih...aku barusan kepo facebook kalian. Kalian cewek tapi kaki kalian panjang yaa..”. Aku dan Peggy sempat berpandang-pandangan ga ngerti maksud si bendahara sampai akhirnya dia nyeletuk lagi, “Itu loohh...foto kalian bertiga jalan-jalan ke Teluk Dalam”.  Sontak kami tertawa terbahak-bahak setelah paham maksudnya si bendahara apa. 

Jadii...April lalu aku, Peggy dan Raisa memutuskan untuk ber-weekend di luar kota Gunungsitoli, saat itu kita bener-bener lagi jenuh banget dengan kerjaan dan butuh refreshing. Disini tuh ga ada bioskop dan mall seperti di kota-kota besar. Adanya karaoke ala-ala yang begitu kita masuk kesana, luntur sudah segala image dan nama baik yang telah dibangun selama ini wkwkwk... Kami pun sepakat untuk piknik ke Teluk Dalam (lagi) selama 2 hari 1 malam, girls only!

(from left to right) Peggy-Me-Raisa
Untuk itinerary, transport dan penginapannya aku ceritain disini yaaa..
Seperti kata orang-orang, “there’s always the first time for everything”,  dan setiap pengalaman pertama itu biasanya memberi kesan tersendiri. Maka demikianlah perjalanan kami kali ini. Ini memang bukan pertama kalinya kami ke Teluk Dalam.  Ini juga bukan pertama kalinya kami piknik ke tempat yang cukup jauh hingga ke luar pulau. Tapi yang membuat trip kali ini berkesan adalah baru kali ini kami jalan (walaupun ga jauh-jauh banget) ngeteng pake transportasi umum trus eksplor kampung dan pantai pake motor, trus leyeh-leyeh di hotel tanpa “perlindungan” cowok. Cewek-cewek doang. No man, no guide at all. Bener-bener berasa kayak petualang-petualang cantik atau anak motor (atau emak-emak naik matic).

Di taman hotel Bariga Feliz
Selain bisa rilex sejenak setelah liat yang ijo-ijo, biru-biru dan babang bule, ada perasaan puas yang terselip. Puas karena ternyata ada hal-hal yang tidak terpikirkan bisa kami lakukan sebelumnya, ternyata berhasil kami lakukan dan kami menikmatinya. Sebelumnya aku ga pernah mikir akan berani motoran di jalanan Teluk Dalam karena jarak antara kota dan hotel yang cukup jauh dan kebiasaan orang-orang disana yang suka ngebut, tapi ternyata aku bisa juga memberanikan diri buat motoran sendiri. Dan ternyata asik bangeeettt... Sore-sore motoran di jalanan yang sepi sambil nyusurin pantai diiringin suara ombak dan gemerisik daun kelapa. Rumah yang berjejer di pinggir jalan juga sederhana tapi cantik. Tiap ada spot yang oke, kami berhenti buat sekedar melihat-melihat pemandangan atau nonton orang-orang lagi surfing. Ooohh.. I love living a slow life like this.


Peggy dan Raisa juga belum pernah hiking sebelumnya. Jalan santai bareng orang-orang kantor tiap Jumat pagi aja hampir bikin Raisa pingsan dan Peggy, walaupun masih bisa keep-up, tetep aja suka pegel-pegel setelahnya. Tapi ternyata mereka bisa juga menaklukkan terjalnya bukit di Hiliamaeta yang kemiringannya hampir 45 derajat itu. Aku sendiri tidak terlalu kesulitan mendaki bukit ini karena sudah terbiasa kesini sejak kecil. Meskipun harus berhenti berulang-ulang kali, wajah mereka sampe pucat pasi karena lelah dan haus, tapi akhirnya mereka sampai juga ke puncak dan justru paling getol foto-foto di tengah desa. Perjalanan turun juga perjuangan banget karena kaki kami harus kuat menahan berat badan kami (iyaaa...kami berat!).  Tapi begitu sudah sampai di kaki bukit, mereka dengan puas ngomong gini, “Gila, bisa juga ya kami mendaki kampungmu, Cen. Untung kami ga pingsan”. Walaupun sebenarnya mereka jera juga diajak mendaki bukit lagi wkwk..


Fyi, kampung asli keluarga mamaku adalah Hiliamaeta. Kakek, nenek, paman dan keluarga besarku masing tinggal di desa ini. Desa Hiliamaeta ini berjarak sekitar 1 km dari Pantai Sorake dan Pantai Lagundri yang terkenal dengan ombaknya yang diidolakan para peselancar itu. Sama seperti Bawomataluo dan desa-desa lain di Teluk Dalam, desa kami ini terletak di atas bukit, makanya namanya hili =bukit. Di tengah-tengah desa, ada sebuah halaman yang berlantaikan batu dan semua rumah adat berjejer dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah halaman tersebut ada rumah adat besar dan batu setinggi 2,1 meter yang terkenal dengan atraksi Lompat Batu. Untuk masuk ke desa ini ada 2 jalur, jalur yang bisa pake motor dan jalur buat pejalan kaki aja.
The struggle 😫😫

Salah satu dari 2 patung naga yang terdapat di tangga teratas menuju halaman desa.


Peggy di halaman desa Hiliamaeta
Aku sih taunya jalur buat pejalan kaki doang. Disitu kami harus mendaki bukit dulu sekitar 30 menit (kalo orang lokal paling lama 10 menit), jalannya ga jauh sih...tapi curam banget, hampir 45 derajat. Kemudian kita naik tangga yang cukup banyak dan juga curam. Di sepanjang tangga ada rumah warga dan beberapa gereja. Jadi jangan heran kalo sambil mendaki, banyak mata yang memperhatikan dan bahkan mereka tidak segan-segan menyapa. Karena setiap orang di desa ini saling kenal dan mereka tau ketika ada orang asing dan pengunjung yang masuk ke desa mereka.

We stayed here at Barriga Feliz Surf Camp, Sorake
Sekembalinya dari short gateaway kami, aku jadi sadar bahwa terkadang kita tidak tau sejauh apa kemampuan kita hingga suatu saat kita dipaksa untuk melakukannya. Kita perlu sesekali menantang diri dan mencoba hal baru untuk dapat menemukan diri sendiri. Tantangannya ga harus berjalan di atas bara api atau berenang di laut penuh hiu kok, cukup hal-hal sederhana yang selama ini ga pernah kita lakuin entah karena ga berani, males ataupun karena ga kepikiran. 

Selain itu, keluar dari rutinitas sehari-hari itu juga penting untuk menjaga keseimbangan jiwa. Memaksakan diri untuk tetap produktif disaat otak sudah mentok dan jenuh juga sama aja bohong, yang ada malah jadi bad mood, males-malesan yang akhirnya mempengaruhi kinerja dan hubungan baik kita dengan rekan kerja.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah sesekali mencoba untuk slow down dalam hidup memberi kesempatan bagi kita untuk menghitung berkat dan kemudian bersyukur akan setiap hal yang diberikan secara cuma-cuma bagi kita oleh Sang Empunya kehidupan.

One of our favourite spots at the hotel. A hut at the corner of the garden, overlooking the sea 😍🏩
Untuk hari-hari selanjutnya, selagi aku masih bisa, aku akan mencoba menerapkan ini:

Challenge myself

Embrace every moment

Live my life to the fullest

and (try to) Be gratefull all the time

Semoga πŸ™‚

Sunday, April 9, 2017

Streetlights and Lemons

April 09, 2017 0 Comments
It was 9 p.m in the evening and I was still busy with the report that is due that day. There’s only me in the room, I could hear my mouse ticking. I didn’t realize how long I had been sitting there without even lifted my a*s from the chair. It had been dark  couple hours ago and I thought it’s already time to go home. I hit the sent button on email, turned off my computer and grabbed my stuff.  I started my motorbike, exit my office gate and made my way to Jalan Pancasila. Just like my office, the street was almost empty and I was exposed to the romantic ambience the streetlights make. In small town like Gunungsitoli, anytime after 9 p.m is already midnight and there shouldn’t be any good girl being outside. People should have labelled me“naughty” ever since I moved here 1,5 year ago. My boyfriend always knows that I love lights as much as the moths do. It always brings a tingling feeling in my heart everytime I pass a full of lights road, it’s like transporting me back to the highways of Bintaro, the square of Kota Tua, Jatinegara at night. 

 
The night wind blew on my face and I shivered a bit. I should turn left if I wanted to get home immediately but no, I still wanted to see the streetlights so I decided to go straight and went for a little walk (with my motorbike). Whilst driving, my thought wandered. I wasbrought back to the time when I was still in Jakarta. Time does fly, it goes by before I even realize. It has been almost two years for me being here, in my beloved hometown. So far away from the crowd of the city, so humble yet quiet. Unlike my friends who were “forced” to leave their families for work, I was so lucky that work sent me back here, to my family, to my beloved ones.

Oh I love it here, words fail me. Anything I need, my mom would provide it for me. All I need to think is work, work and work. But then, I thought that maybe comfort is not healthy for me. I got bored with work and office quite instant lately. I needed something new and challenging to freshen up. I didn’t know but maybe I need campus, lecturers, classmates, books and assignments. I knew it was crazy. Being bored with work and office, I should take a furlough, cut me some slack and go on a holiday instead of wanting to go back to school. 

I was not sure where this urge of coming back to school came. But I thought what triggerred it wasthis letter from work I got from whatsapp group this afternoon. It said that there was a chance of enrolling for schollarship for us but there was  a certain condition that I and some of us couldn’t enroll while all my colleagues could. Fyi, I’m so into getting back to school and I’m fully aware from the beginning that there’s this rulethat I might be one year behind my colleagues. This shouldn’t make me feel down anymore but in fact, it kinda hurt. The fact that we were “banned” from this opportunity made me wanting more.I inhaled deeply and a car’s horn surprised me and I once again realised that I’d been daydreaming while driving and the car had been honking on me for quite sometime.

I took a glimpse of my watch and it was almost 9.45 p.m. It was time to go home, I meant really go home this time. I turned right and made my way to Jalan Pasar Yaahowu. Jalan Pasar Yaahowu is always my favourite area and it is the most beautiful at night. It is located in a seashore, so people could witness the fishermen boats sailing from afar. The ocean breeze and streetlights showered me with such a peacefull feeling and my thought wandered again. I imagined myself being trapped in a long dark tunnel in the middle of the night. I had been screaming all night long, asking for help but nobody listened and my throat started to sore. So I decided to use my instinct and kept walking. I could always choose to wait till somebody finds me here. In the meantime, I could cry my eyes out, moan, complain for my life. But what if nobody really caresabout my absence, what if nobody bothers to look for me? So ya, the “ifs” kept me walking.  I might not sure of what could cross my path ahead but i always believe that there’s always a light in the end of a tunnel. 

Maybe that’s what I should do with my life right now, just keep going. Not able to do something I really want to do doesn’t mean that I can’t do it later. Anything in life including luck has its own time. I could always feel jealous for my friends’ luck, for the opportunity offered to them, but I would never let the jealousy eat my soul. I am a true believer that comparing is the thief of joy. Patience is the virtue. My time will come and I should prepare from now on. All I need to do for now is being gratefull and always take only the best thing from every condition. What do people always say about it? Mmm..wait, “when life hands you a lemon, make lemonade” that’s the saying. Well, apparently I’m pretty good at making a damn good lemonade. And as life goes on, I’m never gonna stop being better and better at making  the lemonade yet I am never gonna be rewarded with a certificate nor graduated from the “lemonade making school”. I’m gonna keep squeezing those sour savoury lemons till my hands can’t hold anything anymore, that’s when people call me dead.

I could finally see my house, the lamps of the living room were still on. The door was still opened, my mom was still waiting for me. I parked my motorbike and entered the house. I yawned as soon as I got into my bedroom. I made a quick change, didn't bother to shower anymore. Ooohh..I was so tired, I should get some rest. Random thoughts must take a lot of energy. I grabbed my cellphone and turned off the lamp. I checked out my inbox and then texted my boyfriend.

Nighty night, dear :*

Monday, March 20, 2017

FAQ Pendaftaran Online dan Ujian Saringan Masuk PKN STAN

March 20, 2017 6 Comments
Halo semuanyaaa... kali ini aku  akan sharing pengalamanku ketika mengikuti USM STAN 7 tahun lalu (ketahuan tuanya  huhu..). Tulisan ini mungkin agak berbeda dengan tulisan-tulisan aku sebelumnya yang biasanya berhubungan dengan jalan-jalan (ga jelasku) selama di Nias. Tapi berhubung sekarang lagi masa-masa pendaftaran online PKN STAN dan  banyak banget yang chat  dan dateng ke rumah buat nanyain tentang PKN STAN maka aku memutuskan untuk share pengalaman tersebut melalui blog ini.

Disclaimer:
Aku masuk STAN (sekarang namanya PKN STAN) pada tahun 2010, prosedur pendaftaran pada zamanku dulu sudah banyak yang berbeda dengan pendaftaran tahun ini. Jadi, tulisan ini pure pengalamanku dan sedikit disesuaikan dengan prosedur pendaftaran tahun ini. Prosedur ini kuketahui dari membaca http://pmb.pknstan.ac.id/#/ dan ketika sharing dengan adik-adik kelas 3 SMA tahun ini yang ikut mendaftar di PKN STAN. Jadi kalo ada kesalahan atau informasi yang sudah tidak relevan, aku minta maaf.
Tulisan ini mungkin sedikit agak terlambat mengingat batas akhir pendaftaran online USM PKN STAN adalah tanggal 31 Maret 2017 sementara sekarang sudah tanggal 20 Maret 2017. But better late than never, right?

PKN STAN itu apa sih? Masih kedinasan ga? Kok denger-denger udah ga kedinasan lagi ya?
Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara atau yang lebih dikenal dengan PKN STAN adalah sebuah perguruan tinggi kedinasan yang bernaung di bawah BPPK Kementerian Keuangan yang lulusannya diproyeksi untuk menjadi PNS atau sekarang dikenal dengan ASN (Aparatur Sipil Negara) di Kementerian Keuangan. Namun belakangan beberapa lulusannya ada yang mendapat penempatan di kementerian lembaga selain Kementerian Keuangan.
Berhubung kelak akan menjadi ASN, peraturan tentang penerimaan ASN ini mengikuti kebijakan dari BKN. Jadi di zamanku, sebelum diangkat jadi ASN dan resmi jadi pegawai Kementerian Keuangan, kami wajib mengikuti Tes Kemampuan Dasar (TKD). So, lulus dari PKN STAN ga otomatis jadi ASN di Kementerian Keuangan ya...tetap harus ujian lagi walaupun tes bagi lulusan PKN STAN untuk jadi pegawai Kementerian Keuangan tidak serumit ujian masuk Kementerian Keuangan dari jalur umum.  Setiap tahun kebijakannya berbeda-beda sih yaaa..intinya PKN STAN ini masih sekolah kedinasan dan  proyeksinya untuk jadi ASN  di Kementerian Keuangan di seluruh Indonesia. Mengenai gimana eksekusinya nanti, semua tergantung pada kebijakan di masanya.

Kuliah di PKN STAN bayar ga?
Biaya kuliahnya gratis dan ga ngeluarin biaya sama sekali. Calon mahasiswa hanya perlu membayar biaya pendaftaran untuk ujian dan prosedur pembayarannya bisa langsung di download di web. Oh iya satu lagi, kuliah di PKN STAN itu ga dapet asrama yaaa...(kayak rumor yang sering beredar di daerahku). Yang gratis itu hanya biaya kuliahnya aja, tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari ditanggung oleh mahasiswa masing-masing.
Adik - adik juga sebaiknya hati-hati jika ada penipuan berkedok penerimaan mahasiswa baru di PKN STAN. Masuk PKN STAN itu murni berdasarkan nilai ujian peserta ujian, tidak ada pihak manapun yang dapat menjamin kelulusan peserta ujian. So, persiapkan diri baik-baik yaa..:)

Program di PKN STAN apa aja?
Sebelum tahun 2017, PKN STAN membuka pendaftaran untuk lulusan SMA/sederajat untuk program Diploma I/D-I dan diploma III /D-III. Namun pada tahun 2017, untuk pertama kalinya lulusan SMA/sederajat bisa mendaftar untuk program diploma IV/D-IV (lucky you, adik-adiiiikkk...). 

Bedanya D-I, D-III dan D-IV apa sih?
Lama pendidikan D-I adalah 1 tahun dan masuk PNS dengan golongan 2A.
Lama pendidikan D-III adalah 3 tahun dan masuk PNS dengan golongan 2C.
Khusus untuk D-IV bagi lulusan SMA/sederajat, aku belum bisa share karena program ini adalah yang pertama dilakukan pada tahun 2017, jadi aku belum ada pengalaman sama sekali. Tapi biasanya D-IV itu setara dengan S1 dan begitu masuk PNS langsung golongan 3A.

Pilihan jurusan di PKN STAN ada apa aja?
Untuk penerimaan mahasiswa baru tahun ini, ada 10 pilihan yaitu:
1. D-IV Akuntansi
2. D-III Akuntansi
3. D-III Pajak
4. D-III Bea Cukai
5. D-III Kebendaharaan
6. D-III Manajemen Aset
7. D-III Penilai
8. D-I Pajak
9. D-I Bea Cukai
10. D-I Kebendaharaan
Pilihan di atas sesuai dengan pilihan yang terdapat di web pendaftaran online PKN STAN yaaa.. urutannya bisa acak. Pilihan adik-adik tidak harus sesuai seperti yang aku tuliskan di atas. Aku sengaja urutin dari D-IV ke D-I biar gampang aja ngurutinnya... :p

Dari 10 pilihan di atas, aku baiknya milih apa ya, Kak?
Pilihannya sebaiknya disesuaikan dengan minat aja ya deeekk..Kan di atas sudah dijelaskan perbedaan program D-I, D-III dan DIV. Kalau tujuannya ingin cepat lulus dan kerja, silakan pilih program D-I, tapi kalau masih ingin menikmati masa kuliah dan lulusnya dengan golongan yang lebih tinggi, silakan pilihan D-III atau D-IV.
Pada saat milih program dan jurusan, urutannya dimulai dari program dan jurusan yang diminati di Prioritas Pilihan 1 yang diikuti dengan program dan jurusan yang kurang diminati di Prioritas Pilihan 2 - 10 yaaa... Jangan dibalik!!! Program dan jurusan yang diminati malah di urutan Prioritas Pilihan 10 .

Kak, aku belum punya KTP. Bisa ga ikutan daftar PKN STAN?
Bisa kok, dek :) Berdasarkan http://pmb.pknstan.ac.id/#/, pendaftaran dapat dilakukan dengan menggunakan bukti diri asli berfoto yang masih berlaku (rapor/ijazah/KTP/SIM/paspor/SKCK).

Apa aja yang harus dipersiapkan untuk mengikuti USM STAN?
1. Siapin berkas-berkas yang dibutuhkan, silakan diliat sendiri di webnya yaaa..
2. Latihan soal

Bentuk soal ujiannya gimana sih, Kak?
Jadi gini, USM STAN itu terdiri dari beberapa tahapan yaitu seleksi administrasi (pemberkasan), tes tertulis,  tes wawancara, tes kebugaran dan tes kesehatan. Tapi menurutku yang paling penting untuk dipersiapkan mulai saat ini adalah berkas dan latihan soal untuk tes tertulis.

Di tahun 2010, tesnya terdiri atas 180 soal (120 soal Tes Potensi Akademik dan 60 soal Bahasa Inggris) yang harus diselesaikan dalam 150 menit. So, saranku berlatihlah dengan menggunakan alarm atau stopwatch. Biasakan mengerjakan soal sesuai dengan standar soal dan waktu di USM PKN STAN biar ga kagok.

Skor untuk jawaban benar adalah 4, jawaban salah -1, dan tidak memberi jawaban/ kosong diberi nilai 0. So, saranku hati-hati dalam menjawab soalnya karena setiap jawaban salah akan minus 1. Kalo ragu-ragu, lebih baik kosongkan saja jawabannya sehingga nilainya ga minus.

Nilai mati diberlakukan pada masing-masing bagian soal yaitu soal Tes Potensi Akademik (TPA) dan Bahasa Inggris. Minimal jawaban benar adalah 1/3 dari jumlah soal TPA dan 1/3 dari jumlah soal Bahasa Inggris. Contoh: soal TPA kan ada 120 soal dan soal Bahasa Inggris ada 60 soal. Jadi adik-adik harus menjawab benar minimal 1/3 x 120= 40 jawaban benar TPA dan 1/3 x 60 = 20 jawaban benar Bahasa Inggris. 
Sistem nilai mati ini berlaku di zamanku, aku ga tau kalo masih berlaku sampai sekarang. Tapi kalaupun tidak berlaku, ada baiknya adik-adik menganggap nilai tersebut masih berlaku sehingga adik-adik berlatih soalnya lebih giat :)

Tata tertib USM STAN pada tahun 2010
Baiklah, aku rasa segitu aja yang bisa aku share ke adik-adik. Terus berlatih, minta restu dari orang tua dan keluarga dan jangan putus-putusnya berdoa.
Kalau ada pertanyaan, silakan ditanyakan aja, mungkin aku bisa membantu. Yaahowu!!!

Monday, September 26, 2016

Surfing for First Timers and Where to Stay in Nias Island

September 26, 2016 1 Comments
I have talked enough about the beauty of the beaches in Teluk Dalam. But for now, I am beyond excited to share my very first experience surfing. Ya I know, this is a little unbelievable. Growing up and living in Nias Island doesn’t automatically make me an expert in water. I can only swim in steady and calm water like in swimming pool and only once snorkeled before, and it’s not even in Nias waters. Moreover my first experience dragging a surfboard and riding it was last weekend.  This is a little embarassing since Nias Island especially Sorake Beach in Teluk Dalam is well known for its big wave so that people from all over the world would travel almost half the globe just to surf and conquer the wave. Based on my first time surfing experience, I’d like to say that it’s so addictive and it made you feel so small and powerfull at the same time when we could make it through the big waves. Now I understand why people are so crazily into surfing.




Well for first timers, I don’t suggest you to try surfing at Sorake Beach. The wave is too big and so many coral at the beach. They’re dangerous combination for amateur. Try learning to surf at Lagundri Beach, instead. The wave is much tamer and the beach is also vast and free from coral. You can easily find a place to rent the surfboards from the locals. They have the boards for the pro ones and the first timers. I don’t really understand the difference but from what I see, the boards for the amateurs are slightly wider and it’s not entirely flat like for the pro one. The rent cost is Rp 30.000,- for the pro one and Rp 50.000,- for the amateur. If you need coaching, you can ask for a coach and the fare is Rp 150.000,- per hour including the surfboard. 

The last time I came to Teluk Dalam was with my officemates and we decided to spend 2 days and one night in Sorake Beach. We stayed in a nice homestay named Home@Nias Accomodation. This two-stories homestay  consists of two bedrooms at the second floor and one kitchen at the first floor. The bedrooms have twin beds and one bathroom for each room.. The room rate is Rp 300.000,- per room per night excluding meals. Meals are prepared by order, the menu and the price is also negotiable. Well I must admit that the price is a bit too expensive compared with the amenities we could get with the same rate from hotels in the big cities. But since this is touristry area and mostly who stay in the homestays are  foreigners, the price is understandable. There are 20 of us so clearly the beds are not enough for us so we asked for extrabeds. They charged us Rp 50.000,- per bed .




For more info, you can visit www.niassurfaccommodation.com.au

Thursday, September 15, 2016

Resensi Novel : RANTAU 1 MUARA

September 15, 2016 0 Comments
Judul Buku                         : Rantau 1 Muara

Pengarang                          : A. Fuadi

Penerbit                             : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun Terbit                       : 2013

Jumlah Halaman                 : 395 halaman

Ukuran Dimensi                 : 13,5 x 20 cm


Setelah sukses dengan dua novel sebelumnya, Ahmad Fuadi kembali menelurkan novel terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara yaitu novel Rantau 1 Muara. Sama seperti pada novel Negeri 5 Menara dan novel Ranah 3 Warna, karya terbarunya ini menceritakan perjuangan seorang anak kampung dari pedalaman Sumatera Barat bernama Alif Fikri dalam mengejar impiannya hingga ke separuh belahan bumi. Berlatar belakang berbagai negara dan berbagai life-altering moment seperti tumbangnya rezim Soeharto dan tragedi 11/9, novel ini mampu membuat pembaca seakan ikut  merasakan berbagai pergolakan batin dan emosi yang dirasakan Alif di saat itu. Berbekal mantra baru yaitu Man Saar Ala Darbni Washal, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan, Alif mampu melewati berbagai masa kejatuhan dan kehilangannya dan bersaksi  bahwa Tuhan selalu membukakan jalan bagi setiap orang yang berserah kepada-Nya. Berbalut kisah romantis yang lebih kental, novel ini mampu membuat pembaca senyum-senyum sendiri membaca kisah cinta Alif dan Dinara, istri sekaligus rekan rekan terbaiknya.

Kisah itu dimulai ketika Alif Fikri kembali ke tanah air setelah menghabiskan 4 semester di Kanada dan Singapura sebagai duta muda dan visiting student mewakili Indonesia. Masa-masa kejayaannya sebagai mahasiswa telah usai dan  tiba saatnya bagi Alif untuk menamatkan perkuliahannya di Universitas Padjajaran dan mencari pekerjaan. Malang baginya ketika mengetahui dia menyandang status fresh graduate dan job seeker di saat yang kurang tepat yaitu masa krisis moneter alias krismon. Menyadari bahwa zaman semakin susah, pekerjaannya sebagai penulis tetap di surat kabar sudah tak terharapkan lagi dan dompetnya semakin kurus sementara Amak dan adik-adiknya di kampung juga mengharapkan bantuan dana dari dirinya, Alif pun mengirimkan surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Resume yang bagus dan kualifikasi tinggi yang dimiliki Alif ternyata tidak banyak membantu di kala perekonomian bangsa sedang morat-marit, banyak pekerja yang di PHK dan tak sedikit perusahaan yang  gulung tikar.  Semua suratnya dibalas dengan kalimat bermakna sama yaitu dia belum dapat diterima di perusahaan tersebut. Kegalauan hati karena belum juga mendapat pekerjaan semakin diperparah ketika dirinya bertemu dengan sahabat lama sekaligus rival terbesarnya, Randai, yang saat itu sedang berjalan dengan pacarnya, Raisa. Saat itu Randai sudah bekerja di sebuah perusahaan penerbangan dengan posisi dan penghasilan yang cukup besar. Kebiasaan mereka yang selalu bersaing dan menantang satu sama lain membuat Alif merasa semakin rendah diri terlebih Randai saat itu sedang bersama Raisa, yang dulu ditaksir oleh Alif sejak lama namun kemudian ditikung oleh Randai di belokan terakhir. 2-0 untuk Randai.

Namun seperti kata pepatah, “selalu ada pelangi sehabis hujan”, Alif akhirnya mendapat surat balasan yang bunyinya berbeda dengan surat-surat lainnya. Dia diterima bekerja sebagai reporter di Derap, sebuah perusahaan majalah berita nasional terkemuka yang diberedel semasa Orde Baru. Bergelar doktor, mondok di kantor, Alif belajar banyak hal di Derap. Dia belajar integritas dan seni dalam menyampaikan berita dengan berani, jujur dan bermartabat. Segera Alif menjadi seorang jurnalis yang hebat dan tulisannya berjudul “ Wawancara Pocong” merupakan prestasi terbaiknya selama di Derap. Tapi bukan Alif namanya jika ia puas dengan pencapaiannya saat ini. Dia bercita-cita untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2 di Amerika Serikat. Dia pun dengan giat mempersiapkan diri dengan belajar TOEFL dan GRE yang dibantu oleh Dinara, rekan kerja Alif yang sejak pertemuan pertama telah membuat Alif jatuh hati. Tak ada usaha yang sia-sia, Alif pun diterima sebagai penerima beasiswa fullbright di George Washington University, Amerika Serikat. 

Terpisah jarak dan waktu antara Washington DC dan Jakarta, Alif dan Dinara tetap berusaha untuk saling berkomunikasi baik melalui email, telepon maupun chatting via telnet.  Tak pernah secara resmi berpacaran, Alif akhirnya memutuskan untuk menikahi Dinara dan memboyongnya ke Amerika Serikat. Sama seperti keluarga muda lainnya, Alif dan Dinara juga mengalami masa susah senangnya mengarungi bahtera rumah tangga di negeri orang mulai dari harus bekerja paruh waktu sambil kuliah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari,  pertengkaran yang diakibatkan oleh kesalahpahaman, hingga kegemaran mereka untuk menjajal negeri Paman Sam sejauh mata memandang. Bagai mengulang kisah mereka ketika masih di Indonesia dulu, Alif dan Dinara kembali menjadi reporter sekaligus rekan kerja di American Broadcasting Network (ABN). Kinerja mereka yang luar biasa dan kebiasaan mereka untuk “beraksi” berdua membuat mereka mendapat julukan Dynamic Duo dari Tom, sang ketua tim. 

Indahnya kehidupan mereka selama di Washington mendadak porak-poranda ketika tragedi 11 September 2001 terjadi.  Alif harus kehilangan Mas Garuda, seorang saudara senegara sekaligus kakak terbaik yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Lelah menanti kabar dan mencari Mas Garuda selama berbulan-bulan,  Alif terpaksa harus merelakan kepergian orang yang ia kasihi  meski masih menyimpan harapan bahwa Mas Garuda selamat dari tragedi yang menewaskan ribuan orang dan menggemparkan dunia tersebut. 

Luka masih membekas di hati para keluarga dan korban selamat,  namun bumi terus berputar dan hidup harus terus dijalani. Setelah 5 tahun di Amerika Serikat menimba ilmu dan mencapai berbagai kesuksesan, Alif dan Dinara akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air untuk selamanya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan segala kenyamanan yang mereka miliki selama di negeri Paman Sam dan kembali ke Indonesia untuk mengabdi pada ibu pertiwi. 

Seakan ingin menyampaikan pesan bagi setiap pembaca untuk tidak pernah berhenti bermimpi setinggi langit dan berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut, novel yang diadaptasi dari kisah nyata pengalaman Ahmad Fuadi ini membuktikan bahwa ketika seseorang berusaha sekaligus berserah kepada Sang Pencipta, maka tak ada jalan yang tak terbuka. Alif membuktikan bahwa seorang anak kampung pun dapat berjaya di panggung dunia dan menunjukkan eksistensinya sebagai seorang penulis dan jurnalis di tingkat internasional. Namun kilau kesuksesan di negeri orang tidak menjadikan Alif dan Dinara terlena dan enggan kembali ke tanah air. Mereka menunjukkan bahwa tak peduli seberapa indahnya kehidupan di negeri orang, ibu pertiwi akan selalu menjadi tempat mereka berpulang. Sudah seharusnya pengalaman dan ilmu yang mereka timba selama di luar negri digunakan untuk membangun bangsa. Karena bagi mereka, muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan.